Photobucket

Konsultan Manajemen, Mutu, SDM & Pelatihan


CARI KONTEN YANG DIBUTUHKAN DARI BLOG INI :

PROFILE HARD-HI SMART CONSULTING

Lihat Lebih banyak Produk & Jasa Hard-Hi Smart Consulting

PRODUK & JASA HARD-HI SMART CONSULTING

Lihat Lebih banyak Produk & Jasa Hard-Hi Smart Consulting

HUBUNGI KAMI

HARD-Hi SMART CONSULTING
Griya Citra Kayumanis Blok A No.7, Bogor 16168, INDONESIA.
Hotline Service (Fast Response) : 0878-7063-5053
( Telp / SMS / Whatsapp / BBM
PIN : 53AB4CC8 )

E-MAILS :
m.shobrie@gmail.com
hardhi.smart.consulting@gmail.com

WEBSITES :

www.hardhismart-consulting.blogspot.com
www.kingoftraining.blogspot.com
www.tokosdm.blogspot.com
www.shobries-paradigm.blogspot.com

www.blog-alislam.blogspot.com



VIDEO COMPANY PROFILE

SAMPLE IN-HOUSE TRAINING

MAESTRO YANG BERNAMA : J. LENNON & BILL GATES

Siapa yang tak kenal mendiang John Lennon? Musisi jenius ini dikenal sebagai salah satu seniman terbesar abad 20. Bersama tiga sobatnya, Paul Mc Cartney, Ringo Starr dan George Harrison, ia membangun the Beatles sebagai grup musik paling legendaris di dunia, dan juga salah satu band terkaya di muka bumi. Lewat kecerdasannya, ia meracik lagu-lagu abadi semacam Come Together dan Imagine. Tak heran, jutaan orang menangisi kepergiannya yang tragis di tahun 1980, 8 Desember, tepat jam 10.50 malam ketika empat peluru revolver menembus tubuhnya.

Lalu, siapa pula yang tidak kenal Bill Gates? Banyak orang mengenalnya sebagai brilliant man yang pada usia 25 tahun nekad drop out dari Harvard University; dan memutuskan untuk membangun perusahaan yang kelak kita kenal sebagai salah satu most valuable company on earth, Microsoft. Pria visioner ini juga acap diakui sebagai salah satu arsitek utama dibalik kemajuan industri teknologi informasi global. Dan pasti, Bill Gates juga banyak dikenal sebagai orang terkaya di dunia dengan total kekayaan lebih dari lima ratus trilyun rupiah.

Lalu, apa hubungan Bill “Microsoft” Gates dan John “the Beatles’” Lennon? Lelaki dari kota Seattle dan Liverpool ini disebut disini karena keduanya mewakili sebuah tema yang kini makin terasa penting: yakni tentang apa itu makna sebenarnya dari human capital atau modal insani. Tak pelak kedua orang itu menunjukkan contoh yang paling jitu, bahwa human capital atau modal manusia-lah yang pada akhirnya akan menentukan kemajuan peradaban dan kebudayaan; bukan aset fisik, kecanggihan teknologi, modal finansial ataupun strategi branding yang heroik. Keduanya juga memberikan ilustrasi betapa jika dikelola dengan brilian, potensi dan kekuatan human capital akan mampu memberikan value added yang bersifat dramatik, dan mampu memicu tumbuhnya sebuah kekuatan bisnis dalam skala yang masif.

Microsoft mungkin tak akan sedahsyat sekarang jika ia tidak dikendalikan oleh kejeniusan seorang Bill Gates. Demikian pula tanpa talenta John Lennon, grup band the Beatles barangkali tak akan pernah dikenang oleh jutaan manusia di muka bumi hingga hari ini. Kisah diatas dengan kata lain menegaskan arti penting dari konsep human capital : yakni bahwa modal kapabilitas, ketrampilan dan kecerdasan sumber daya manusia merupakan elemen fundamental bagi kejayaan sebuah organisasi — entah organisasi itu berupa perusahaan global atau sebuah grup band musik.

Pertanyaannya kini adalah : apa yang mesti dilakukan agar kita bisa mereproduksi sumber daya manusia sekelas Bill Gates atau John Lennon?

MEMBUAT SLIDE PRESENTASI YANG "WOOOW...!!!"

Membuat slide presentasi dengan powerpoint kini mungkin telah menjadi satu ketrampilan yang perlu dikuasai oleh banyak orang – entah Anda seorang mahasiswa, dosen, trainer, pekerja kantoran, atau seorang wirausahawan seperti Bill Gates. Problemnya, hingga hari ini saya masih acap menyaksikan mutu slide presentasi yang pas-pasan, untuk tidak mengatakan berantakan. Beberapa waktu lalu misalnya, saya menyaksikan tayangan presentasi dari seorang petinggi dari sebuah organisasi publik; dan sesaat setelah melihat halaman pertama slide, nafsu saya mendengarkan ceramahnya mendadak lenyap. Penyebabnya: mutu slide presentasi yang ditayangkan benar-benar memilukan. Tragedi slide presentasi semacam itu mestinya bisa dihindari jika kita tidak melakukan 3 (tiga) kesalahan fatal.

Marilah kita telusuri Kesalahan-kesalahan tersebut satu per satu :

Kesalahan Yang Pertama
Memindahkan word ke powerpoint. Maksudnya, powerpoint dan word adalah dua aplikasi dengan fungsi yang amat berbeda. Sialnya, perbedaan yang amat mendasar ini acap dilupakan orang ketika membuat slide presentasi. Demikianlah, saya acap melihat kalimat-kalimat panjang dan rinci dari word langsung saja dicopy paste ke dalam powerpoint – dengan font yang kecil lagi (misal ukuran 12 atau 14). Ini namanya, powerpoint abuse atau penganiayaan slide presentasi. Solusinya : jika Anda akan menulis persentasi dengan bullet point, mungkin ada baiknya jika kita mengingat 5 x 5 rule. Aturan yang bisa diterapkan secara fleksibel ini intinya mengajak kita untuk hanya membuat maksimal 5 bullet point dalam setiap halaman slide; dan masing-masing poin sebaiknya terdiri tak lebih dari lima kata. Slide presentasi adalah slide presentasi. Maksudnya : tayangkan hanya poin-poin pokok dari gagasan yang ingin Anda sampaikan. Tulisankan gagasan itu dengan ringkas – hindari kesalahan fatal berupa keinginan untuk menampilkan kalimat-kalimat panjang dan rinci dalam sebuah slide.

Kesalahan Yang Kedua
Yang juga acap saya temui : SEMUA TULISAN MEMAKAI HURUF KAPITAL. Untuk judul sebuah slide mungkin oke menggunakan huruf besar semua. Namun ketika Anda menjabarkan dalam poin-poin yang ringkas dalam baris sesudahnya, gunakan huruf non-kapital. Sebab kalimat panjang yang semua menggunakan HURUF KAPITAL terbukti justru sulit dibaca. Selanjutnya, kalau bisa gunakan font dengan ukuran minimal 24 (ukuran yang lebih kecil akan membuat orang yang duduk dibelakang akan kesulitan membacanya). Dan jangan lupa, sebaiknya gunakan jenis huruf sans seriff seperti Arial, Verdana atau Georgia. Dan bukan jenis huruf seriff seperti Times New Roman. Sejumlah pakar presentasi menyebutkan, dalam medium digital seperti layar komputer, jenis huruf seperti Arial lebih mudah dibaca dibanding Times New Roman. Dan jangan lupa juga satu hal : konsistensi. Maksudnya, jika kita menggunakan huruf Arial dengan font size 28, maka sebaiknya jenis dan ukuran inilah yang kita pakai dalam semua halaman slide. Ini perlu diingat, sebab tak jarang saya melihat pemakaian jenis huruf yang tidak konsisten. Kesannya jadi berantakan dan tidak profesional.

Kesalahan Yang Ketiga
Kita memang mesti meletakkan gambar (image) yang relevan dan artistik. Sialnya, saya banyak melihat slide dengan gambar yang dicomot dari clip art (banyak tersedia dalam powerpoint); dan sorry to say, hal ini akan membuat slide Anda terkesan kampungan. Apalagi jika clip art itu diletakkan secara serampangan – tanpa memperhatika segi estetika. Kalau ingin menaruh gambar, ya cari gambar (image) yang professional look, jangan pakai clip art. Dan yang tak kalah penting : semuanya ditata dengan memperhatikan aspek estetika, dan sekali lagi konsisten. Maksudnya, style peletakan gambar kalau bisa mengacu pada pola tertentu yang konsisten (dan bukan asal taruh saja). Mungkin dalam hal desain image ini ada baiknya jika kita langsung berguru dari presentasi sang pencipta PowerPoint itu sendiri (lihat beberapa contoh presentasi melalui image dibawah ini).

Seperti yang kita saksikan dalam contoh diatas, desain gambar dan tata letak kalimat tampaknya disusun dengan mengacu pada nilai estetika. Kita mungkin sulit meniru kejeniusan Tuan Gates dalam membikin software, namun tentu bukan hal yang relatif rumit untuk bisa mengcopy desain presentasi seperti yang terlihat dalam gambar diatas. Yang dibutuhkan hanyalah kepekaan kita akan nilai-nilai estetika (sense of aesthetic).

Demikianlah, tiga kesalahan fatal yang mestinya bisa kita hindari jauh-jauh ketika kita hendak membuat slide presentasi. Sebab dengan itulah kita mungkin baru bisa mendesain sebuah slide yang elok nan menggetarkan. Dan bukan deretan slide yang garing nan membosankan. Dengan mutu yang memilukan. Duh...

Photo : by Niall Kennedy under creative commons license.

KRITERIA BALDRIGE UNTUK PERUSAHAAN BISNIS

CRITERIA FOR BUSINESS

1. Leadership
2. Strategic Planning
3. Customer and Market Focus
4. Measurement, Analysis, and Knowledge Management
5. Workforce Focus
6. Process Management
7. Results

KARAKTERISTIK UTAMA KRITERIA UNTUK BISNIS

Kriteria berfokus pada hasil-hasil bisnis dengan bidang-bidang kunci yaitu: Hasil Produk dan Layanan, Hasil Fokus Kepada Pelanggan, Hasil Finansial dan Pasar, Hasil Tenaga Kerja, Hasil Efektivitas Organisasional, serta Hasil Kepemimpinan.
Kriteria bukan merupakan suatu ketentuan yang memberi petunjuk (non prescriptive) tapi bisa diterapkan pada segala bentuk organisasi (adaptable).
Kriteria tidak menetapkan keharusan untuk menggunakan tools, teknik, teknologi, sistem, ukuran atau starting points tertentu. Tidak merekomendasikan perlunya dibentuk unit atau departemen mutu, perencanaan atau fungsi-fungsi tertentu.
Kriteria juga tidak mengharuskan agar unit berbeda dikelola dengan cara yang sama. Kriteria mendukung perspektif kesisteman untuk memelihara penyelarasan tujuan dengan skala organisasi sebagai kesatuan lengkap. Penyelarasan tujuan organisasi melekat dalam struktur yang terintegrasi antara: Tata Nilai dan Konsep Inti (Core Values and Concepts) - Kriteria - Orientasi kepada Hasil - Hubungan Sebab - Akibat di antara Item.

Kriteria mendukung diagnosis berbasis tujuan karena Kriteria dan Petunjuk Skoring (Scoring Guidelines) merupakan 2 bagian sistem diagnostik. Kriteria merupakan kumpulan 18 persyaratan berorientasi kinerja sementara Petunjuk Skoring menguraikan dimensi penilaian Proses yaitu: Approach, Deployment, Learning, Integration (Pendekatan, Penjabaran, Pembelajaran, Integrasi) dan penilaian Hasil yang memiliki dimensi: Level, Trend, Comparison, Integration (Level, Tren, Perbandingan, Integrasi).

KRITERIA MALCOLM BALDRIGE DI INDONESIA

Begitu gegap gempita implementasi Kriteria Baldrige dan pemberian penghargaan berbasis Baldrige di luar negeri, termasuk di Negara-negara tetangga kita, bagaimanadengan Indonesia? Pengenalan Kriteria Baldrige di Indonesia pertama kalai dilakukan oleh Telkom. Konsekuensi dari go public dan dual listingnya saham Telkom (di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek New York) tahun 1996 mengharuskan Telkom untuk membangun system manajemen dan kinerja berstandar dunia (World Class Operator). Setelah melalui proses pencarian terhadap system manajemen ekselen tersebut - termasuk mengumpulkan informasi melalui survey terhadap beberapa perusahaan di Negara-negara Eropa, Singapura, dan Amerika - akhirnya Telkom memilih Kriteria Baldrige sebagai upaya meraih standar dunia tersebut. Pengadopsian Kriteria Baldrige di Telkom terjadi mulai tahun 2000.

Meski sudah dipelopori oleh Telkom, pengadopsian Kriteria Baldrige oleh organisasi-organisasi di Indonesia relative lambat. Hal itu juga diakui oleh Bachtiar Simamora, PhD., CEO PT WEDnet Indonesia yang juga konsultan Baldrige bersertifikasi. "Jumlahnya masih sedikit. Selain Telkom, yang mulai menerapkan Kriteria Baldrige, antara lain, Pertamina, Krakatau Steel, Sucofindo, Bank BNI, Wika, dan segelintir BUMN lainnya." Toh ia berharap, pengadopsian Kriteria Baldrige bisa lebih cepat lagi, baik dari BUMN maupun perusahaan swasta dan organisasi pemerintahan. "Alasannya sederhana.

Kompetisi semakin mengglobal. Tuntutan menjadi organisasi ekselen tidak terelakkan," tambahnya. Hasnil Rsyid, Manajer di Pertamina, mengakui perusahaannya telah mengadopsi Kriteria Baldrige. "Namun untuk detilnya, hanya direksi yang boleh bicara," katanya saat dihubungi Human capita. Implementasi Kriteria Baldrige di bank BNI juga telah dimulai tahun 2005, meskipun kabarnya proses implementasi tersebut berlangsung agak tersendat-sendat. Proses implementasi Kriteria Baldrige di bank BNI dibantu oleh konsultan dari India, tetapi diduga konsultan tersebut sedikit menghadapi masalah dalam menstimulir implementasi Kriteria Baldrige karena beberapa sebab.

Untuk menumbuhkan pemahaman terhadap Kriteria Baldrige di kalangan BUMN, tanggal 29 April 2004 PT WEDnet menggandeng Kantor Meneg BUMN dan BUMN Executive Club untuk menyelenggarakan seminar pengenalan Sistem Baldrige. Sebagai tindak lanjutnya, para CEO BUMN mendeklarasikan embrio dari Indonesia Quality Award (IQA) for BUMN 22 Juli 2004. IQA for BUMN diharapkan menjadi cikal bakal dari IQA secara komprehensif dan berskala nasional. Pemberian IQA for BUMN akan memberikan sejumlah manfaat, bagi seluruh stakeholder BUMN, seperti yang disebutkan dalam buku pedomannya (dan dikutip Abdul Haris).

Pertama, mengetahui tingkat kinerja yang telah dicapai untuk mendorong peningkatan kinerja perusahaan lebih lanjut. Kedua, memperoleh umpan balik berupa peluang untuk perbaikan sebagai salah satu upaya untuk
meningkatkan kinerja secra berkesinambungan. Ketiga, meningkatkan daya saing BUMN. Keempat, meningkatkan citra BUMN. Kelima, melengkapi system pengukuran kinerja BUMN yang berlaku saat ini. Keenam, memberikan penghargaan dan pengakuan kepada BUMN yang memiliki kinerja ekselen.

Pemberian penghargaan terhadap organisasi berdasarkan Kriteria Baldrige bagian tak terpisahkan bagi sebuah Negara jika ingin menjadikan mutu dan kinerja ekselen sebagai upaya membangun daya saing. Berdasarkan praktik di banyak Negara, termasuk di Negara asalnya Amerika, pemerian penghargaan berbasis Kriteria Baldrige sangat efektif dalam upaya memacu seluruh organisasi untuk meraih kinerja ekselen. Pada gilirannya, hal itu berdampak pada daya saing Negara di kancah persaingan global. Abdul Haris dan Bachtiar Simamora berharap, pemerintah segera mengadopsi Kriterie Baldrige demi kemajuan perusahaan dan Negara Indonesia. Apapun namanya, apakah IQA atau katakanlah Indonesia Performance Excellence Award (IPEA), yang penting harus ada gerakan nasional secara sistematis dan dikelola secara professional-independen untuk mengilhami, mendorong, dn mengayomi gerakan Baldrige di Indonesia. "Kita tertinggal jauh di belakang, dan harus segera berbuat sesuatu nyata. Waktu yang tersedia tidak lama lagi," tukas mereka di tempat terpisah. Abdul Haris menambahkan, "Kita tentu saja tidak ingin pepatah lama yang mengatakan it's too late to lock the stable when the horse has been stolen terjadi di negeri ini."

Dewasa ini, selain segelintir BUMN, Kriteria Baldrige juga mulai diadopsi oleh Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) sejak awal 2005. tujuan utamanya agar hasil audit yang dikeluarkan BPK benar-benar berkualitas dan memberi nilai bagi para penggunanya, khususnya pihak legislatif. Untuk mewujudkan tujun itu, mau tak mau, harus ada sebuah sistem dan proses terintegrasi dari hulu ke hilir yang menjamin terwujudnya tujuan tersebut. Menurut Dwi Setiawan, anggota Tim Perencanaan strategis BPK, dalam implementasi Kriteria Baldrige, BPK dibantu oleh konsultan yang didanai oleh USAID. "Implementasinya masih pada fase awal, tetapi tahapan awareness terus berjalan," tuturnya.

Jalan berliku dan panjang, boleh jadi, masih menghadang Indonesia untuk benar-benar mengadopsi Kriteria Baldrige. Supaya tidak repot lagi?- dan seringkali malah melenceng?- ada baiknya Indonesia mengadopsi Kriteria Baldrige secara utuh dari MBCFPE yang asli dari Amerika. Maklum, MBCFPE disusun oleh sekitar 400 profesor dan PhD terkemuka di Amerika sehingga benar-benar komprehensif, valid, dan berkualitas tinggi. Bagi mereka yang pernah mempelajari MBCFPE, tak ada keraguan sedikitpun tentang kehebatan Kriteria Baldrige untuk menghasilkan kinerja ekselen.

Sungguh ideal bila seluruh komponen kepemimpinan di negeri ini?- pemerintah, perusahaan, organisasi nirlaba, dan organisasi public?- berpikir dalam kerangka Kriteria Baldrige dan mengadopsinya demi kemajuan bangsa. Toh, kita sudah berada at the poit of no return.

KRITERIA MALCOLM BALDRIGE UNTUK KINERJA PRIMA PERUSAHAAN

Malcolm Baldrige Criteria for Performance Excelence (MBCFPE) merupakan panduan manajemen terbaik utnuk membuat sebuah perusahaan menjadi unggul, ekselen, atau kelas dunia. Penghargaan (award) berbasis criteria Baldrige telah membuat daya saing Negara dalam percaturan global meningkat. Jika mutu menjadi prioritas nasional, Indonesia harus segera mengadopsinya.

Persaingan bisnis global sangat kejam. Sejarah telah membuktikan, kemenangan dalam persaingan hanya bisa diperoleh perusahaan-perusahaan ekselen (Excellence Company). Perusahaan-perusahaan Amerika telah banyak menjadi korban dari persaingan tersebut. Pada era 70-an hingga awal 80-an, pasar Amerika diserbu oleh produk-produk industri Jepang, dari elektonika hingga otomotif. Pelan tapi pasti, produk-produk Jepang yang tadinya dianggap kelas dua, berhasil mencuri pasar Amerika. Lama kelamaan, Jepang bukanlagi sekedar mencuri, bahkan makin merebut pangsa pasar yang signifikan. Detroit (pusat produksi 3 besar raksasa otomotif Amerika) panic. Perusahaan-perusahaan Amerika pun guncang.

Dibalik keberhasilan produk-produk Jepang tesebut, adalah orang Amerika juga arsiteknya, yakni Edward Deming dn Joseph M. Juran. Mereka berdua memperkenalkan system pengendalian kualitas menggunakan diagram control, teknik smpling statistic, dan analisis ekonomi modern kepada para manajer Jepang setelah Perang Dunia II, sebagai bagian dari program Jendral Mac Arthur untuk membangun kembali Jepang yang telah hancur akibat bom di Hiroshima dan Nagasaki. Perusahaan Jepang kemudian memperkenalkan konsep QCC (Quality Control Cycle) sebagai inti dari TQM (Total Quality Management), yang di Indonesia lebih dikenal dengan GKM (Gugus Kendali Mutu). Konsep TQM disempurnakan dengan memasukkan prinsip Kaizen, yaitu program perbaikan sepanjang waktu (continuous improvement).

Selama dua decade, perusahaan Jepang terus berjuang meningkatkan kualitas produk/jasanya, sementara perusahaan Barat nyaris terlena dengan kedigdayaannya. Sejak tahun 70-an, produk perusahaan Jepang telah memiliki keuggulan daya saing yang bagus di pasar dunia. Beberapa kalangan di Amerika tersentak dengan kemajuan cepat yang diraih produk atau jasa perusahaan Jepang, walaupun banyak manajemen perusahaan Amerika belum menganggapnya sebagai tren yang serius. Sebagian perusahaan menyadari bahwa situasi mulai berbahaya, tetapi mereka juga tidak tahu harus berbuat apa. Pada awal 80-an, media masa Amerika mulai menyoroti kemajuan besar produk perusahaan Jepang itu. Stasiun televise NBC, misalnya, menayangkan program khusus dengan judul "If Japan Can, Why Can't We?", dengan menampilkan Edward Deming yang saat itu sudah berusia 80 tahun. Sang arsitek dibalik keberhasilan perusahaan Jepang itu - dan selama ini kurang dikenal public di negaranya sendiri - dihadirkan ke hadapan eksekutif Amerika. Pemikiran Deming begitu memperngaruhi para pebisnis dan pelopor manajemen kualitas modern Amerika, macam Walter Shewart, Harold Dodge, dan banyak lagi.

Di sisi lain, kesadran yang sama muncul pula di kalangan pemerintah Amerika, khususnya pada Menteri Perdagangan Amerika, Malcolm Baldrige. Ia dinominasikan menjadi Menteri Perdagangan oleh Presiden Ronald Reagen 11 Desember 1980, dan mendapatkan persetujuan Senat 22 Januari 1981. Baldrige menjabat hingga Juli 1987, saat kecelakaan bermain rodeo di California merenggut nyawanya. Ia merupakan Menteri Perdagangan yang paling lama dan telah memberikan kontribusi besar terhadap administrasi pemerintahan dan perbaikan ekonomi. Baldrige berhasil menekan biaya lebih dari 30% dan biaya administrative per pegawai sebesar 25%. Lulusan Universitas Yale ini adalah tokoh yang sangat sepakat dengan pandangan bahwa manajemen mutu sebagai kunci bagi kesejahteraan dan kekuatan jangka panjang Amerika. Secara pribadi ia berkeinginan untuk meluncurkan sebuah Akta peningkatan Kualitas dan membantu menyusun salah satu konsep dasarnya.

Akta tersebut sedang bergulir di Kongres Amerika ketika Agustus 1986 senator Don Fuqua mengajukan usulan Undang-Undang (Bill 5321) tentang National Quality Improvement Award yang bertujuan untuk mendorong perusahaan Amerika meningkatkan control mutu dan daya saing. Tahun 1987, Kongres menyetujiu dibutnya program penghargaan (award) untuk menghargai organisasi di Amerika atas pencapaiannya di bidang mutu dan kinerja sekaligus meningkatkan kesadaran tentang pentingnya mutu dan kinerja ekselen sebagai kunci daya saing. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Konges dan Pemerintah Amerika mengabadiakn namanya dalam programpenghargaan tersebut: Malcolm Baldrige National Quality Award (MBNQA). Tanggal 20 Agustus 1987, Presiden Ronald Reagen menandatangani MBNQA menjadi Undang-Undang.

Peristiwa ini, seperti ditulis Abdul Haris ( sekarang Direktur Jaringan dan Solusi PT Telekomunikasi Indonesia Tbk) dalam bukunya 7 Pilar Perusahaan Unggul, menjadi tonggak sejarah yang penting bagi bisnis dn industri Amerika. Tahun 1991, majalah Business Week bahkan menulis: "Peristiwa ini adalah revolusi global yang mempengaruhi semua bidang bisnis. Mulai tahun 1990-an dan tahun-tahun selanjutnya, kualitas harus tetap menjadi prioritas utama dalam bisnis". Hampir semua perusahaan Amerika kemudian mengadopsi prinsip kualitas ini sehingga daya saing perusahaan Amerika meningkar kembali. Riset oleh George Stephen menunjukkan adanya peningkatan pangsa pasar perusahaan di Amerika rata-rata 13,7%; volume penjualan per karyawan naik rata-rata 8,6%; tingkat pengembalian asset naik sebesar 1,3%.

DOKUMEN PALING BERPENGARUH

MBQNA tidak diberikan kepada produk atau jasa tertentu. Setiap tahunnya, 3 penghargaan diberikan kepada masing-masing kategori: manufaktur, jasa, usaha kecil, pendidikan, dan layanan kesehatan. Kategori pendidikan dan layanan kesehatan diperkenalkan tahun 1999. Bulan Oktober 2004, Presiden Bush menandatangani Undang-undang yang memberikan hak kepada NIST (National Institute of Standards and Technology), sebuah badan di bawah Departemen Perdagangan, untuk memperluas program MBNQA kepada organisasi nirlaba dan pemerintahan. Proyek percontohan untuk organisasi nirlaba dan pemerintahan dimulai 2006, dan penghargaan akan mulai diberikan 2007.

Sejak dimulainya pemberian penghargaan 1988, Baldrige National Quality Program telah berkembang dengan sangat meyakinkan. Criteria Baldrige telah memainkan peran yang sangat berharga utnuk meningkatkan kinerja mereka dengan focus pada 2 tujuan: meningkatkan nilai bagi pelanggan dan meningkatkan kinerja organisasi secara keseluruhan. Beberapa juta kopi dari Kriteria Baldrige telah didistribusikan semenjak 1988. itu diluar dari perbanyakan yang dilakukan berbagai organisasi maupun kemudahan akses secara elektronis. Gordon Black, Chairman dan CEO Haris/Black International Ltd menegaskan, publikasi terkait dengan Kriteria Baldrige untuk kinerja ekselen agaknya "menjadi dokumen yang paling berpengaruh dalam sejarah modern bisnis di Amerika."

Betapa tidak. Program Baldrige benar-benar meluas diterapkan di Amerika sendiri maupun di negara-negara lain. Di Amerika saja kini ada 44 program kualitas yang diterapkan di 41 negara bagian dan disusun berdasarkan Program Baldrige. Jumlah ini melonjak tajam dari kurang dari 10 program kualitas tahun 1991. contoh lain: semenjak 1988, 1063 aplikasi telah dikirimkan kepada MBNQA dari beragam tipe dan ukuran organisasi untuk mendapatkan penilaian. MBNQA dan Kriteria Baldrige menjadi centerpiece dari pergerakan kualitas di Amerika Serikat. Berbagai program mutu nasional telah berkembang di seputar MBNQA dan Kriteria Baldrige. Sebuah laporan yang dibuat The Private Council on Competitiveness yang berjudul "Building on Baldrige : American Quality for the 21st Century" menyebutkan: "Lebih dari berbagai program lainnya, MBNQA bertanggung jawab untuk menjadikan kualitas sebagai prioritas nasional dan menyebarluaskan praktik terbaik ke seluruh penjuru Amerika Serikat."

Adopsi Malcolm Baldrige Criteria for Perormance Excelence (MBCFPE) secara internasional pun sangat luar biasa. Saat ini hampir 80 program kualitas berbasis Kriteria Baldrige diterapkan secara internasional, salah satunya di Jepang yang didirikan 1996. Negara-negara tetangga kita sudah mengaopsi Kriteria Baldrige dan memberikan penghargaan, seperti Australia (Australian Business Excelence Award), Selandia Baru (New Zealand Quality Award), Singapura (Singapore Quality Award), Malaysia (Malaysia Prime Minister Quality Award), Thailand (Thailand Quality Award), dan Filipina (Philipine Quality Award). Sementara Negara-negara di Eropa memiliki European Quality Award. Negara-negara tersebut mengadopsi Kriteria Baldrige, baik secara utuh maupun dengan dimodifikasi serta ada pula yang melakukan perubahan menyeluruh (seperti Jepang).

Cepatnya adopsi MBCFPE oleh perusahaan-perusahaan di luar Amerika menyebabkan perusahaan-perusahaan Amerika tidak bisa berjalan pelan dalam menerapkan Kriteria Baldrige. Buktinya, dalam sejumlah area bisnis, pangsa pasar produk perusahaan Jepang dan non Jepang di Amerika tetap mengalami kenaikan. Tapi inilah yang dinamakan bisnis. Kompetisi terjadi setiap saat, sehingga seperti yang dikatakan Abdul Haris, Direktur Jaringan dan Solusi Telkom, continuous improvement saja tidak lagi cukup bila pesaing memiliki tingkat improvement yang lebih tinggi. "Di sinilah letak kelebihan Kriteria Baldrige.ia bukan hanya sekedar menjamin berlangsungnya continuous improvement, namun lebih dari itu mendorong perusahaan untuk menjadi yang terbaik," ujar peraih predikat The Best Executive Divisi Regional V 2002 itu. Dalam Kriteria Baldrige, kinerja sebuah perusahaan bisa dibandingkan dengan kinerja perusahaan lain yang sejenis berdasarkan skor (nilai) yang diperolehnya.

Pemberian penghargaan (award) merupakan bagian tak terpisahkan dari diseminasi Kriteri Baldrige di setiap Negara. Adanay penghargaan yang kredibel memacu upaya peningkatan kualitas dan kinerja organisasi secara nasional. Penghargaan diberikan atas dasar skor pencapaian sesuai dengan Kriteria Baldrige. Dan, penilaian ini harus dilakukan oleh lembaga yang kredibel dengan metode yang juga kredibel. Di Amerika, proses standarisasi, pengawasan implementasi, proses penilaian hingga pemberian penghargaan dilaksanakan olah NIST. NIST mengelola program peningkatan mutu secara menyeluruh (the Baldrige National Quality Program) bekerjasama secara erat dengan pihak swasta. Berbeda dengan pemberian penghargaan yang sering diadakan di Indonesia, organisasi yang mendapatkan penghargaan baldrige harus melalui serentetan proses penilaian. Sebuah perusahaan yang berhak mendapatkan penghargaan setidaknya harus melalui 4 tahapan utama: Pengajuan Dokumen Aplikasi, Audit Dokumen, Peninjauan Langsung Perusahaan, dan Sidang Dewan Juri (Board of Examiner).

Setiap tahapan mempunyai persyaratan yang standard an batasan sangat ketat, berupa persyaratan administrasi maupun panduan penilaian (scoring guideline). Setiap organisasi yang dinilai harus menunjukkan - melalui fakta dan data - bahwa mereka memiliki system manajemen kelas dunia dan selalu berusaha meningkatkannya. Sebelum memberikan rekomendasi organisasi yang berhak menerima penghargaan, pemeriksaan final dilakukan oleh Dewan Juri dengan mengunjungi organisasi yang dinilai sebagai kandidat penerima. Selama kunjungan lokasi ini, juri mewawancarai karyawan dan menelaan setiap catatan serta data. Objektifnya adalah untuk mencocokan informasi yang disampaikan dalam aplikasi dan jawaban pertanyaan yang muncul dalam kunjungan juri. Percuma saja bagi perusahaan jika meminta seorang ahli mengisi aplikasi Baldrige bila system manajemennya tidak didukung oleh fakta dan data.

Nilai akhir dari penilaian pemenuhan Kriteria Baldrige menjadi penentu sejauh mana pencpaian standar Dunia dari organisasi tersebut. Skor pencapaian Kriteria Baldrige berkisar dari 0 sampai dengan 1000. Kriteria Baldrige mengklasifikasikan sebuah perusahaan berdasarkan total skor yang diperoleh: Early Development (0-250), Early Result (251-350), Early Improvement (351-450), Good Performance (451-550), Emerging Industry Leader (551-650), Industry Leader (651-750), Benchmark Leader (751-875), dan World Leader ( 876-1000).

Semakin tinggi skornya, semakin ekselen perusahaan dimaksud. Skor bagi perusahaan yang tergolong ekselen minimal 650. Oleh karena system penilaian dan pihak penilai pencapaian Kriteria Baldrige memiliki kredibilitas tinggi, maka nilai yang diperoleh sebuah organisasi valid untuk diperbandingkan dengan nilai yang diperoleh organisasi lain di industri yang sama, terlepas apakah ia berada di Amerika, Indonesia, Jepang, atau dimana saja. Sebuah perusahaan yang berkinerja ekselen menurut Kriteria Baldrige dipastikan ekselen bila dibandingkan dengan perusahaan lainnya, dimanapun ia berada. Namun demikian, skor dan mendapatkan penghargaan tidak menjadi sasaran dari perusahaan yang hebat, karena yang lebih penting adalah bagaimana Kriteria Baldrige menjadi darah daging di seluruh bagian perusahaan. Hal ini ditegaskan oleh Earnest Daevenport, Chairman dan CEO Eastmen Chemical Company, yang pernah meraih penghargaan MBNQA: "Eastman, seperti halnya para pemenang Kriteria Baldrige lainnya, tidak menerapkan konsep total manajemen mutu untuk memenangkan penghargaan. Kami melakukannya agar kami semakin sejahtera dan tetap bersaing di pasar global."

Kenyataannya, ribuan organisasi di Amerika Serikat menggunakan Kriteria Baldrige untuk menelaah organisasi dan melakukan peningkatan. Program tersebut telah membantu menstimulasi gerakan luar biasa untuk meingkatkan kinerja organisasi di Amerika, termasuk perusahaan, institusi akademis, badan-badan federal, Negara bagian, dan pemerintahan local.