Photobucket

Konsultan Manajemen, Mutu, SDM & Pelatihan


CARI KONTEN YANG DIBUTUHKAN DARI BLOG INI :

PROFILE HARD-HI SMART CONSULTING

Lihat Lebih banyak Produk & Jasa Hard-Hi Smart Consulting

PRODUK & JASA HARD-HI SMART CONSULTING

Lihat Lebih banyak Produk & Jasa Hard-Hi Smart Consulting

HUBUNGI KAMI

HARD-Hi SMART CONSULTING
Griya Citra Kayumanis Blok A No.7, Bogor 16168, INDONESIA.
Hotline Service (Fast Response) : 0878-7063-5053
( Telp / SMS / Whatsapp / BBM
PIN : 53AB4CC8 )

E-MAILS :
m.shobrie@gmail.com
hardhi.smart.consulting@gmail.com

WEBSITES :

www.hardhismart-consulting.blogspot.com
www.kingoftraining.blogspot.com
www.tokosdm.blogspot.com
www.shobries-paradigm.blogspot.com

www.blog-alislam.blogspot.com



VIDEO COMPANY PROFILE

SAMPLE IN-HOUSE TRAINING

PRAKTIK PENERAPAN E-LEARNING DI BANK NEGARA INDONESIA (BNI)

Di Indonesia, penerapan praktik e-learning di lingkungan perusahaan masih dipandang sebagai usaha yang tidak efektif, serta sulit karena minimnya dukungan infrastruktur. Kendati demikian, tak sedikit yang telah mulai mencobanya, misalnya Bank BNI 46 yang tergolong sukses, meskipun diakui tak sepenuhnya "indah berseri".

"Ada pahit-pahitnya juga," ungkap Manajer E-Learning BNI 46 Mochammad Jukadi ketika menjadi salah satu pembicara di ajang Executive Breakfast di Hotel Mulia, Jakarta, Kamis (15/2/07). Acara yang merupakan forum sharing tentang praktik manajemen HR ini diselenggarakan oleh Oracle bekerja sama dengan DDI, MTI dan PortalHR.com.

Sebagai bank yang memiliki jumlah karyawan sangat besar, yakni 18.500 orang, BNI menyadari betapa pentingnya menerapkan sistem e-learning untuk mengoptimalkan usaha-usaha meningkatkan kualitas SDM.

"Bayangkan dengan karyawan sebanyak itu, kalau pakai sistem pembelajaran konvensional berapa kelas yang harus disediakan, belum infrastrukturnya," ujar Jukadi. Dikisahkan, BNI melirik sistem e-learning sejak 2004 lalu. Setelah kurang-lebih selama setahun menyusun blue print dan project road map-nya, baru pada 2006 mengoperasikannya.

"Tentu saja dengan didahului proses sosialisasi yang panjang," kata dia seraya merinci tahap demi tahap proses sosialisasi tersebut. Dari pengenalan tentang 'apa itu e-learning' melalui media internal sampai membuat aktivitas-aktivitas yang menggunakan learning manajemen system, misalnya survei online.

"Untuk menarik karyawan, kita beri hadiah misalnya untuk responden terbaik." Selain itu, kunci sukses penerapan e-learning di BNI menurut Jukadi tak lepas dari dukungan top management. "Kita adakan launching formal agar karyawan tahu bahwa ini hajat perusahaan dan bukan sekedar program dari departemen HR saja."

Jukadi juga berbagi tips, untuk menggairahkan keterlibatan karyawan, perlu diadakan program insentif. "Kalau di BNI, kami ada learner award, dengan hadiah laptop." Namun, ia buru-buru menegaskan bahwa semua itu hanya sebagai langkah awal untuk membangun kesadaran karyawan.

"Nanti kalau sudah berjalan baik, ya (hadiah-hadiah) itu dihapus, bisa bangkrut perusahaan kalau terus-menerus," katanya setengah berkelakar.
Tak kalah penting, demikian Jukadi, harus diingat sejak awal bahwa penerapan sistem pembelajaran e-learning bukanlah sekedar urusan pemanfaatan teknologi untuk mencapai efektivitas dan fleksibilitas.

"Banyak faktor yang perlu diperhatikan, terutama bagaimana mengubah paradigma atau mindset pegawai agar mereka mau mengakses sistem ini." Tantangan lain, disebutkan Jukadi di antaranya soal bandwidth yang sangat besar. "Ini bisa disiasati dengan pembatasan akses sampai jam tertentu."

BANK NEGARA INDONESIA (BNI) DAPAT MENGHEMAT RP.64 MILYAR SETAHUN DARI HASIL PENERAPAN E-LEARNING

Penerapan e-learning yang dilakukan oleh BNI telah menghasilkan penghematan yang signifikan terutama dari praktik pelatihan yang kini bisa dilakukan dari jarak jauh. Dari satu aktivitas ini saja, sejak diresmikan oleh Direktur Utama pada November 2006 sampai dengan Juli 2007, BNI telah menghemat biaya sebesar Rp 64 miliar.

Demikian diungkapkan oleh VP bidang HR BNI Lies Purwani dalam perbincangan dengan PortalHR.com di Jakarta. E-learning hanyalah salah satu dari buah pembaruan yang dilakukan BNI dalam Human Capital Management System (HCMS) yang telah diotomatisasikan dengan Human Resourse Information System (HRIS).

Penghematan lain yang dicapai berkat otomatisasi HCMS adalah biaya survei, tes-tes tertentu untuk karyawan, asessment sampai ke sistem penggajian itu sendiri. Namun, Lies buru-buru menegaskan bahwa penghematan itu tentu saja tergantung dari skala perusahaan. "BNI kan besar, pegawai kita banyak ada di mana-mana dari Aceh sampai ujung Papua, bahkan sampai ke luar negeri. Nah, penghematan paling besar kita peroleh dari pelatihan," jelas dia.

"Biasanya kalau pelatihan teman-teman kita datangkan ke Jakarta atau ke wilayah. Dengan e-learning biaya transpor bisa dipangkas, ini menjadi komponen terbesar penghematan, selain dari uang saku, penginapan dan uang makan," tambah Lies.

Sedangkan untuk sistem penggajian, otomatisasi telah memangkas biaya-biaya yang sebelumnya diperlukan untuk perhitungan manual yang harus dikerjakan oleh pegawai bagian umum masing-masing divisi. "Dulu, uang lembur, pajak non rutin, DOP, uang cuti, uang makan, dihitung secara manual," ujar dia.

Lies Purwani mengakui bahwa pembaruan sistem yang dicanangkan sejak Oktober 2005 tersebut memunculkan pro Dan kontra. Sebab, tidak dapat dimungkiri bahwa di balik penghematan-penghematan besar yang dicapai, ada fasilitas-fasilitas tertentu yang dirasakan hilang oleh karyawan. Bahkan, ada pekerjaan-pekerjaan tertentu yang harus dihapus

Namun, Lies melihat dari sisi lain. "Oke, ada pekerjaan yang hilang tapi kita justru bisa lebih fokus, orang-orangnya kira re-deploy, dilatih lagi dan dibekali untuk mengisi unit bisnis pada divisi lain," jelas dia sambil merinci ada sekitar 47 pegawai yang di-redeploy dari bagian umum ke unit bisnis dan unit lainnya setelah adanya sentralisasi sistem penggajian dan otomasi pekerjaan-pekerjaan administratif lainnya.

Sedangkan untuk pelatihan, dengan adanya e-learning, para karyawan dari daerah merasa kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pelatihan ke Jakarta atau wilayah-wilayah lainnya. "Kembali ke komunikasinya," tegas Lies. "KIta jelaskan ke karyawan bahwa e-learning tak menghilangkan segalanya, karena tak semua pelatihan toh bisa lewat online, ada yang memerlukan interaktif dan role play sehingga kesempatan untuk datang ke Jakarta masih ada".

Menurut Manajer HRIS BNI Sumarno, berbagai pro-kontra, silang pendapat dan keberatan yang muncul dari perubahan besar yang terjadi di BNI memang harus diterima dan dikelola dengan baik sebagai bagian dari perubahan paradigma.

"Dari awal kita telah melakukan sosialisasi, kita jelaskan bahwa kita akan mengganti sistem termasuk sistem HR karena secara keseluruhan sistem perbankannya juga berubah, mengikuti perkembangan HR yang makin strategis," ujar dia.

Selain sosialisasi dari awal, perusahaan juga memberikan stimulus-stimulus untuk mensukseskan program perubahan yang dilakukan. "Misalnya, kita ada program Learner Award untuk pegawai yang aktif melakukan pembelajaran melalui e-learning. Award tersebut berupa insentif sejumlah rupiah tertentu bagi yang telah menyelesaikan courseware, hadiah laptop bagi best performers hingga training ke luar negeri," papar Sumarno.

Toh, dengan semua upaya tersebut, tantangan selalu ada. Kuncinya, baik Lies Purwani maupun Sumarno sepakat, program-program tersebut harus selaras dengan strategi bisnis dan komitmen dari line dan top management. Dan, yang penting, semua itu harus terintegrasi. "Sejauh ini kita boleh dibilang sukses karena memiliki HRIS yang mendukung," ujar Sumarno.

Menurut Lies, beberapa inisiatif sudah menunjukkan hasil, misalnya produktivitas karyawan meningkat. "Diharapkan, dengan adanya perubahan sistem dan paradigma ini, karyawan bisa semakin engange, dan itu artinya tidak hanya senang kerja di sini, tapi terus mencari cara-cara baru untuk meningkatkan kinerja perusahaan."

Sedangkan, untuk penghematan tadi, Lies yakin akan terus berlanjut meskipun angkanya belum tentu sama besar dengan yang dicapai saat ini. "Ini baru (tahun) pertama, dan kebetulan memang sedang banyak-banyaknya pelatihan," ujar Lies.

E-LEARNING DIANGGAP MEMBOSANKAN

Meskipun 9 dari 10 karyawan level manajer saat ini memiliki akses terhadap internet, tapi pada kenyataannya mereka masih malas untuk memanfaatkan fasilitas teknologi tersebut sebagai sarana pembelajaran. Jadi, apa kabar e-learning?

Chartered Management Institute (CMI) dan? Centre for Applied Human Resource Research, Inggris mensurvei hampir 1000 orang manajer dan 12 pemimpin perusahaan besar dan menemukan, prediksi bahwa online learning akan menggantikan ruang kelas belum sepenuhnya terbukti secara menggembirakan.

Menurut survei, hanya separo manajer yang telah memanfaatkan sumber-sumber daya online untuk memecahkan permasalahan, dan hanya satu dari 5 yang membuka program e-learning yang terstruktur.

Kendati demikian, survei melihat, secara umum para manajer memiliki keinginan untuk belajar dan menyadari bahwa internet merupakan sarana untuk itu. Hampir 6 dari 10 melihat online learning sebagai sumber daya yang sangat ampuh untuk pendidikan, yang bisa dimanfaatkan setiap saat.

Sepertiga mengaku lebih melihat sumber-sumber daya online sebagai penyedia referensi yang setia, dan satu dari 4 telah menyadari efektivitasnya dalam segi biaya. Namun, semua itu tidak menjamin bahwa para manajer kemudian mencoba dan memanfaatkannya untuk belajar sesuatu.

Hampir separo merasa, penolakan terhadap e-learning disebabkan karena fasilitas online tersebut "menghilangkan sentuhan kemanusiaan". Dan, hampir tiga perempat lebih menyukai dialog tatap muka langsung dan lebih dari sepertiga menyatakan, pembelajaran dengan bimbingan tutor lebih efektif.

Bagi separo responden, rasa bosan merupakan hambatan terbesar dan seperlima berpendapat bahwa konten yang mereka temukan dalam materi online gagal untuk "mengikat" dan menarik mereka. Tiga dari 10 mengaku kurang termotivasi untuk menyelesaikan pelajar-pelajaran online tersebut, dengan 17% beralasan "kurangnya support".

Direktur Marketing dan Corporate Affairs CMI Jo Causon mengatakan, terdapat keuntungan-keuntungan bisnis yang nyata dari pemanfaatan model-model e-learning sejauh organisasi juga menyediakan alat dan dukungan pengembangan untuk menyertainya. "Intinya, perlu perencanaan yang matang dalam mempraktikkan online learning dengan mempertimbangkan audiens," ujar Causon.

Diingatkan juga, sebaiknya tidak menggantungkan seluruh proses pembelajaran pada online melainkan perusahaan tetap perlu memanfaatkan sumber daya lain dari program pengembangan tradisional.

E-LEARNING DIANGGAP TIDAK EFEKTIF, TAPI SEMAKIN POPULER

Dalam dunia pelatihan, praktik e-learning atau proses pembelajaran dengan sarana teknologi internet semakin hari kian diminati oleh perusahaan-perusahaan yang memiliki karyawan dalam jumlah besar. Namun, di mata para praktisi training sendiri, praktik tersebut ternyata masih dianggap tidak efektif.

Demikian kesimpulan yang bisa ditarik dari hasil survei yang dilakukan oleh Chartered Institute of Personnel and Development (CIPD) tentang pelatihan dan pengembangan. Survei melibatkan 700 orang petinggi bisnis sebagai responden.

Menurut hasil survei tersebut, hanya 7% kalangan bisnis yang menyebut e-learning sebagai satu dari tiga metode paling efektif dalam praktik pelatihan karyawan.

Responden yang semuanya telah mempraktikkan e-learning tersebut mengaku, sarana tersebut rata-rata telah tersedia bagi 60% karyawan, namun hanya separinya saja yang memanfaatkannya. Dan, dari jumlah itu, hanya 30% saja yang menyelesaikan pelatihannya.

Menariknya, meskipun menganggap tidak cukup efektif, namun 29% responden memprediksi bahwa dalam tiga tahun ke depan e-learning akan semakin populer. Setidaknya, 25-50% dari praktik training diyakini akan dilaksanakan lewat e-learning.

Adapun mengenai efektivitas tadi, 95% setuju bahwa e-learning akan lebih efektif jika dikombinasikan dengan metode-metode pembelajaran lainnya. Di samping itu, 92% setuju bahwa praktik e-learning menuntut sikap yang baru dari para karyawan.

Penasihat bidang pelatihan dan pengembangan pada CIPD Martyn Sloman mengatakan, "Kita masih butuh waktu yang panjang unuk mewujudkan e-learning secara efektif dalam organisasi. Survei kami memperlihatkan bahwa praktik ini memang belum sepenuhnya diapresiasi baik oleh karyawan maupun manajer pelatihan."

"Kita harus berusaha lebih keras untuk mengintegrasikan e-learning ke dalam sarana pembelajaran dan aktivitas-aktivitas pendukung kinerja. Organisasi-organisasi yang bagus tengah melakukan itu tapi banyak yang hanya membuat e-learning sekedar tersedia di komputer tiap karyawannya," tambah dia.

Sloman mengingatkan, e-learning adalah tentang proses belajar dan bukan semata-mata teknologi. Sehingga perusahaan tidak bisa hanya sekedar menyediakan fasilitasnya lalu berharap sesuatu akan terjadi dengan sendirinya, sebagai hasilnya.

MENGUAK TABIR MIMPI SANG CEO

Alkisah pada suatu hari Pharaoh, Sang Raja dari Mesir, punya mimpi. Ia berdiri di tepi sungai Nil dan :

Tampaklah dari sungai Nil itu keluar tujuh ekor lembu yang indah bangunnya dan gemuk badannya; lalu memakan rumput yang ditepi sungai itu. Kemudian tampaklah tujuh ekor lembu yang lain; kulit pemalut tulang, yang keluar dari dalam sungai Nil itu buruk bangunnya dan kurus badannya, lalu berdiri disamping lembu-lembu yang tadi, ditepi sungai itu. Tidak pernah kulihat yang seburuk itu di seluruh tanah Mesir. Lembu yang kurus dan buruk itu memakan ketujuh ekor lembu gemuk yang mula-mula. Lembu-lembu itu masuk kedalam perutnya, tetapi walaupun telah masuk kedalam perutnya, tidaklah kelihatan sedikitpun tandanya; bangunnya tetap sama buruknya seperti semula.

Tampak timbul satu tangkai tujuh bulir gandum yang bernas dan baik tetapi kemudian tampaklah juga tujuh bulir gandum yang kurus dan layu oleh angin timur. Bulir yang kurus menelan ketujuh bulir yang bernas dan berisi tadi. Bulir yang kurus itu memakan ketujuh bulir yang baik tadi.

Pada waktu pagi gelisahlah hatinya, lalu disuruhnya memanggil semua ahli dan semua orang berilmu di Mesir. Pharaoh menceritakan mimpinya kepada mereka, tetapi seorangpun tidak ada yang dapat mengartikan kepadanya.

Muncullah Joseph, sang sering disebut sebagai the Dreamer, oleh sanak saudaranya karena ia senang menceritakan mimpinya pada mereka. Bahkan karena mimpinya yang menurut keluarganya diluar kepantasan, ia dibuang jauh dan menjadi budak.

Joseph, dipanggil oleh juru minuman raja yang pernah merasakan ketepatan singkapan mimpinya. Pharaoh bertanya arti mimpi itu pada sang pemimpi, Joseph. Iapun bertutur lancar seperti ia sudah mengerti akan masa depan.

Kedua mimpi tuanku itu sama. Ketujuh lembu yang baik adalah tujuh tahun, dan ketujuh bulir gandum yang baik ialah tujuh tahun juga. Ketujuh ekor lembu yang kurus dan buruk yang keluar kemudian maksudnya tujuh tahun, demikian pula ketujuh bulir gandum yang hampa dan layu oleh angin timur itu, maksudnya akan ada tujuh tahun kelaparan. Ketahuilah tuanku akan ada tujuh tahun kelimpahan di seluruh tanah Mesir. Kemudian akan timbul tujuh tahun kelaparan, maka akan dilupakan segala kelimpahan itu di tanah Mesir. Karena kelaparan itu menguruskeringkan negeri ini. Sesudah itu akan tidak kelihatan lagi bekas-bekas kelimpahan di negeri ini karena kelaparan itu, sebab sangat hebatnya kelaparan itu. Oleh sebab itu, baiklah tuanku Pharaoh mencari seorang yang berakal budi dan bijaksana, dan mengangkatnya menjadi kuasa atas tanah Mesir. Baiklah tuanku Pharaoh berbuat begini, yakni menempatkan penilik penilik atas negeri ini dan dalam ketujuh tahun kelimpahan itu memungut seperlima dari hasil tanah mesir. Mereka harus mengumpulkan segala bahan makanan dalam tahun tahun baik yang akan datang ini dan, dibawah kuasa tuanku Pharaoh, menimbun gandum di kota-kota sebagai bahan makanan, serta menyimpannya. Demikianlah segala bahan makanan itu menjadi persediaan untuk negeri ini dalam ketujuh tahun kelaparan yang akan terjadi di Mesir, supaya negeri ini jangan binasa karena kelaparan itu.

Usul itu dipandang baik oleh Pharaoh dan semua pegawainya. Lalu berkatalah Pharaoh kepada pegawainya, “Mungkinkah kita mendapatkan orang seperti ini, seorang yang penuh hikmat ?" Kata Pharaoh kepada Joseph, “ Tidaklah ada orang yang demikian berakal budi seperti engkau. Engkaulah menjadi kuasa atas istanaku, dan kepada perintahmu seluruh rakyatku akan taat, hanya takhta inilah kelebihanku daripadamu."

Kisah ini ditutup dengan kejadian seperti yang diramalkan Joseph dan Mesir dapat keluar dari krisis pangan. Bahkan mampu menjadi gudang penyangga bagi daerah sekitar.
Kisah ini bagi saya menarik sekali dan banyak ‘insight’ yang bisa diperoleh darinya. Pharaoh adalah gambaran CEO yang memang senang bermimpi. Bermimpi tentang masa depan adalah tugas CEO yang tak mungkin didelegasikan kepada bawahannya. Mimpi CEO lah yang akan membawa kemajuan perusahaan dalam jangka panjang. CEO yang tak mampu bermimpi adalah CEO yang sekedar pemimpin tanpa pernah menjadi Leader yang baik. Tanpa mimpi, CEO hanya akan meneruskan perjalanan dengan cara yang sama dilakukan pendahulu.

Masalah mulai timbul tatkala CEO tak mendapatkan ‘partner’ yang sepadan yang mampu mengartikulasi dan mengartikan mimpinya dalam tatanan strategis. Mimpi yang indah akan kehilangan makna tanpa penjabaran yang jelas dimengerti oleh seluruh jajaran. Mimpi yang indah tak akan membawa maslahat tanpa perencaaan operasional untuk mewujudkannya.
Disinilah peran CHR dan team HRD yang sangat dibutuhkan oleh para CEO. Mitra yang mampu menjembatani tatanan mimpi yang sangat abstrak dan virtual menjadi rencana jangka panjang dan pendek yang visual dan membumi. Misi, Visi dan Rencana Jangka Panjang tidak akan dimengerti oleh jajaran karyawan kalau tidak berhasil diartikulasikan dan dijabarkan oleh CHR.

Kalau anda memiliki kemampuan ini, maka anda adalah andalan CEO. Mitra yang mampu menorehkan garis jelas diantara garis titik dan terputus dalam gambaran mimpi sang CEO.
Kenyataannya banyak CHR dan orang HRD yang berasyik ria dengan mimpinya sendiri. Berkutat dengan jargon dan konsep yang sama tapi berbeda tampakkan luar. Dalam kesendirian berhalusinasi dan imajinasi soal menjadi ‘business partner’ atau ‘strategic partner’ tanpa pernah mampu menguak tabir mimpi sang CEO.

Pertanyaannya adalah : Apakah anda mengerti mimpi CEO anda ? Apakah anda mampu mengartikulasi dan mengartikannya dalam tatanan strategis ? Mampukah anda menyusun program pelaksanaannya ? Kalau ya, ada memang pantas menjadi Joseph. Raja muda dan orang kedua dari raja. Kalau tidak, tinggalkan mimpi anda. Pelajarilah mimpi CEO anda. Mulailah berimajinasi mimpi CEO. Hanya soal waktu anda akan seperti dia.

Oleh : Paulus Bambang W.S.
Vice President Director PT United Tractors Tbk.Pengarang Buku (Best Seller): “Built to Bless. The 10 Commandments to transform your Visionary Company – Built to last – to a Spiritual Legacy”

CHIEF HUMAN RESOURCES (CHR)

Sebagai sesama pimpinan berawalan C, artinya setara dengan Chief lain seperti CMO, CIO dan CFO, maka bidang Human Resources ini sedang mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk menjadi C dengan Capital C, Bold dan Italic. Artinya, secara kesempatan sedang berada pada angin buritan, tinggal bagaimana mampu ‘riding the waves’.

Pasalnya, saat ini C yang tertinggi alias Chairman, CEO atau COO sedang berada pada ‘ketakutan’ yang ‘membahagiakan’. Bisnis yang sedang berada pada siklus ‘Up trend’, menanjak dan belum menunjukkan dampak resesi akibat sub prime mortgage USA, membuat kengerian sendiri bagi para Top C.

Swa edisi 4, 2008 membahas tuntas sepuluh permasalahan yang dianggap sebagai persoalan utama oleh para CEO adalah :

1. Managing Change (67.39 %)
2. Develop Leader (56.52 5)
3. Sustaining Business Growth (56,52 %)
4. SDM dan Kompetensi – managing people (45.65 %)
5. Transformasi Bisnis (39.13 %)
6. Ekspansi Bisnis (36.96 %)
7. Kompetisi Global (30.43 %)
8. Kompetisi Lokal (28.26 %)
9. Budaya Kerja (13.04 %)
10. Peraturan Pemerintah dan ketidakpastian hukum (10.87 %)

Perhatikan ‘The 10 Challenges dan Pain’ yang sedang dihadapi oleh Top C Class. Their Pain is CHR Gain, if you can help them to resolve it. Dua masalah paling utama justru bukan soal gonjang ganjing peraturan dan kepastian hukum yang sering kita dengar celotehan mereka di media massa, tapi kejujuran yang berasal dari hati mengatakan bahwa HR adalah the source of their fear. HR adalah daya dorong dan akselerator atau penghambat bagi pertumbuhan bisnis dan pertumbuhan pangkat para top C itu sendiri.

Perhatikan pula, bagaimana ke 46 CEO hasil riset SWA ini berupaya menanggulangi mimpi buruk mereka menyuarakan ‘The 10 solutions Needed by CEO’ :

1. Memaksimalkan ‘training dan develoment’ untuk meningkatkan kompetensi, kualitas, produktivitas, dan kreativitas (73.91 %)

2. Melakukan change management, menyiapkan change journey dan user ownership terhadap perubahan yang ada (39.13 %)

3. Melakukan inovasi dan efisiensi di bidang produksi, distribusi, dan pemasaran (28.26 %)

4. Mengembangkan pool of talents (26.09 %)

5. Menyeimbangkan ekspansi pada bisnis inti, juga mendiversifikasi usaha agar resiko tersebar di banyak tempat (26.09 %)

6. Membangun team capability dan membuat terobosan bisnis (21.74 %)

7. Menggenjot keunggulan kompetitif dan mengontrol biaya (15.22 %)

8. Membuat jejaring yang ekstensif dengan komunitas bisnis (15.22 %)

9. Meningkatkan peluang untuk terjadinya aliansi strategis dan kerjasama bisnis (10.87 %)

10. Menciptakan ‘super leader’ disetiap level manajemen (10.87 %)

Dari 10 pil yang dipikirkan menjadi kebutuhan para CEO tadi, ternyata dua peringkat teratas juga merupakan keahlian, kompetensi dan kemampuan para praktisi HR. Ini adalah peluang untuk menjadi mitra yang bukan hanya mampu mengibati tapi juga mampu menciptakan sinergi untuk membuat kesehatan organisasi menjadi jauh lebih prima dari sebelumnya.

It’s a SHOW TIME !!!!!!

Justru ditengah bisnis yang sedang menanjak, CEO semakin membutuhkan peran CHR. Bukan pada saat bisnis turun saja ketika CEO banyak berdialog dengan CHR soal merumahkan dan mem PHK. Diskusi hanya seputar pesangon dan uang jasa yang menyakitkan hati. Saat senang inilah, CHR sangat dibutuhkan oleh para CEO.

It’s a Show Time NOW !!!!

Sebagai Change Specalist dan Change Master, saatnya CHR unjuk gigi dalam membuat Change Destiny yang dibutuhkan. CHR harus mampu merumuskan Change Destiny bukan hanya Change Journey maupun Change Management.

Ketika perubahan sudah menjadi kebutuhan para CEO, maka CHR harus mengambil peran terdepan untuk membuat perubahan ini menjadi aktivitas untuk merubah wajah organisasi secara keseluruhan dan fundamental. Bukan hanya berkutat soal cara, how do we get there, tapi bahkan mencakup soal apa yang harus diubah, where are we going to go.

Artinya, dalam bahasa sederhana, CHR tidak sekedar fasilitator diskusi antar para C untuk merumuskan Misi, Visi, Guideline, Objectives dan Priority Measures tapi CHR adalah konseptor. Penguak tabir mimpi CEO yang mampu membuatnya ‘implementable’ di lapangan. From Conception to Consumption atau from Womb to Tomb harus ditengarai dengan seksama oleh para CHR.

Sayangnya kesempatan itu tidak bisa ditunda. You have to act NOW. Tomorrow may not be your day. Jangan pernah tunda. Saatnya datang ke Board Room dengan ‘Change Destiny’ dan ‘Leader Development ‘framework. War of Talents dan War of Change akan didengungkan dengan konsep yang sudah anda susun. Kalau ini terjadi, anda sedang merenda karir yang lebih menantang dan memberi nilai tambah yang menghasilkan ‘great legacy’ yang ‘no one can steal it from you’. You are a history maker not just history writer or history teller of your company. You are the one who can make their problems solved.It’s your show time, partner.

Oleh : Paulus Bambang W.S.
Vice President Director PT United Tractors Tbk.Pengarang Buku (Best Seller): “Built to Bless. The 10 Commandments to transform your Visionary Company – Built to last – to a Spiritual Legacy”

HRD IS A GUARDIAN

Sudah sering kita bicara soal budaya perusahaan. Dalam bahasa keren sering disebut Corporate Culture, sehingga ada konsultan yang bergelar Corporate Culturist. Menariknya lagi, hampir seluruh ahli yang bergerak dalam Corporate Culture selalu memulai survey dari top management. Merumuskan kata-kata sakti dan indah dalam bahasa yang amat canggih. Didiskusikan di Board Room lalu dituangkan dalam bentuk buku yang cantik, lalu dilakukankan program LAUNCHING secara besar-besaran.

Diikuti dengan pelatihan atau komunikasi massal untuk seluruh karyawan. Presentatornya siapa lagi kalau bukan bagian HRD atau bagian Training. Dianggap ahli dalam melucu dan membuat konsep ini mudah dipahami. Setelah satu siklus selesai, top management dapat tersenyum bersama para konsultan di kantor puncak, “kita sudah memiliki corporate culture”. Acara Sign Off dengan konsultan dilakukan, lalu pembayaran akhir honor diselesaikan. “Good bye, Sayonara”, sang konsultan pergi dengan lambaian tangan penuh rasa terima kasih. Budaya baru ‘sudah’ terjadi.

Yang lebih luar biasa, ketika diundang seminar soal budaya perusahaan, bos HRD dengan bangga menceritakan soal budaya baru yang baru setahun diluncurkan. Disertai contoh video saat pelatihan, terlihat karyawan asyik dan senang mengikuti program sosialisasi. Lalu diterangkan program kebijakan HRD untuk mendukung budaya ini merasuk ke sanubari seluruh karyawan. Potret karyawan dari manajer pabrik sampai satpam dan supir ditayangkan. Semua menikmati kesegaran pelatihan, apalagi dilakukan di resort yang indah. “Belum pernah kami mengalami pelatihan seperti ini. Dua hari di resort yang membuka mata hati kami”. Lalu dengan senyum bangga, sang HRD menutup presentasinya dengan kalimat “Kami sudah memiliki budaya baru”.

Definisi textbook Corporate Culture adalah “the way we do things around here”. Simple tapi very basic. Artinya, kultur atau budaya itu bukan ‘the word we write around here’ atau ‘the presentation we make around here’ atau ‘the message we put in the wall around here’ atau bahkan ‘the standard operating procedure and manual of corporate culture we write around here’. Kultur adalah ‘the way we DO’. Apa yang dikerjakan oleh top management di kamar yang tak terlihat, di bagian yang tak mudah di akses oleh bidang lain atau yang dikerjakan satpam dan supir di ruang tunggu yang pengap di pojokan.

Kalau mau jujur, yang dilakukan banyak perusahaan adalah pembohongan diri sendiri atas nama kultur. Pimpinan menggunakan kalimat-kalimat sakti untuk dilakukan oleh bawahan tapi ia sendiri tak melakukannya. “Do what I say but don’t do what I do”. Budaya perusahaan adalah budaya untuk kalangan bawah. HRD adalah aktor untuk mengubah bawahan tanpa bisa menyentuh kalangan atas. Sibuk luar biasa tapi tak menyentuh substansi.

Acapkali mereka mengeluh, karena tahu “this not the way we should do”. “We should start from the top”, kata bijak dari konsultan yang sering diingatnya tapi tak mampu dilakukannya. Start from the top artinya presentasi selama 30 menit di rapat BOD. “Yang penting konsepnya, tidak perlu terlalu detail”, begitu pesan corporate secretary ketika tim HRD ingin menfinalisasi hasil kerjanya.

Itu sebabnya, rumusan indah yang tertera dalam Corporate Philosophy sebagai dasar dari pembentukan Corporate Culture tidak menjadi bagian dari pimpinan walaupun semua unsur pimpinan membubuhkan tanda tangan. Tanda tangan artinya saya menyetujui dengan akal bukan tanda hati apalagi tanda iman. Makanya plakat jenis begini hanya bagus untuk hiasan di ruang rapat dan bahan presentasi pamer diri di kongres HRD.

Apa HRD mau exist dalam kondisi yang begitu ? Coba lakukan audit implementasi, apakah nilai-nilai yang tertera pada corporate philosophy itu masih dilakukan atau memang tidak pernah dilakukan sejak awal diluncurkan.Misalnya, kalau salah satu kata kunci dalam pembentukan nilai-nilai dalam falsafah perusahaan itu adalah INTEGRITAS atau KEJUJURAN, lalu anda tahu perusahaan ini memiliki buku lima : buat pajak, bank, manajemen internal, owner dan istri owner, apa yang anda akan perbuat ? Atau kalau ada pembukuan ganda yang bahkan didukung oleh ERP canggih, HRD masih berani melatih soal Kejujuran dan Integritas ? Untuk siapa nilai-nilai tersebut ?

Apalagi kalau pedoman buku falsafah perusahaan berbunyi ...” kejujuran artinya karyawan tidak memberikan suap atau menerima suap .......”. Pedoman yang tidak berimbang dan tidak tepat sasaran. Integritas adalah nilai untuk pimpinan dari puncak sampai menengah. Kalau misalnya masih ada pembukuan ganda, serapi apapun ia, lebih dahsyat lagi kalau sampai orang HRD tidak tahu bahwa perusahaannya memiliki pembukuan ganda, sebaiknya nilai ini dicabut saja. Ini agar konsisten antara kata dan perbuatan.

Bagi saya, ini bukan masalah budaya tapi masalah moralitas. Moralitas perusahaan haruslah diatas budaya. Kalau moralitas perusahaan masih amburadul, jangan bicara soal kultur integritas. Ganti aja dengan budaya TEAM WORK, artinya kerjasama antara perusahaan dengan orang pajak untuk bersama-sama menggelapkan pajak. Kerjasama dengan Account Officer bank untuk menggelembungkan proyek agar dapat mendapat uang lebih yang dibagi bersama. Itu baru team work ????

HRD harus berani menjadi moral guardian. Berkata tidak untuk sesuatu praktek hitam dan berkata ya untuk mempertahankan praktek putih. Itu yang saya butuhkan sebagai partner. Ada tanggapan ?

Oleh : Paulus Bambang W.S.
Vice President Director PT United Tractors Tbk.Pengarang Buku (Best Seller): “Built to Bless. The 10 Commandments to transform your Visionary Company – Built to last – to a Spiritual Legacy”

SIKAP KEPEMIMPINAN HR MENGHADAPI KRISIS (3)

Pihak kedua yang yang harus menjadi target operasi CHR dalam menghadapi krisis adalah karyawan. Karyawan adalah aktor vital dalam manajemen krisis. Krisis tak dapat ditangkal tanpa karyawan. Tidak hanya pasukan elite yang sanggup melawan tapi seluruh karyawan. Tanpa kesatuan antara karyawan dan manajemen, maka seluruh enerji mereka akan habis untuk dialog dan ‘pertempuran’ antar mereka sendiri padahal musuh krisis di depan tak bisa menunggu lagi.

Untuk membuat karyawan terlibat aktif, CHR harus mampu menerangkan secara jujur dan terbuka seluruh kondisi perusahaan. Tanpa perlu ‘make up’ dan kata-kata penuh puisi. Yang penting isi dan substansi. Tanpa ancaman dan bekal serangkaian regulasi yang menguatkan posisi masing-masing.

Ketika semua berunding tanpa senjata, maka jalan damai akan didapatkan. Ketika senjata dengan isi penuh dipakai, maka perundingan hanya akan berakibat situasi, win-lose. Akibatnya, ada hati yang terluka.

Agar karyawan mengerti bahwa ‘we are not in normal time, we are in crisis. We can not do business as usual’, maka komunikasi harus dijalankan dengan transparan. Paradigma tentang karyawan dengan seluruh kelompoknya, termasuk serikat pekerja, harus bernuansa positif.
Sepuluh prinsip dasar ini harus diyakini :

1. Karyawan adalah ‘Human’ bukan sekedar ‘Resources’ yang mudah memahami kondisi perusahaan bila mereka ikut dilibatkan.

2. Mereka memiliki nurani yang mampu menangkap sinyal ketegangan para pemimpin mereka.

3. Mereka bukanlah manusia penuntut yang tak mau tahu kondisi perusahaan.

4. Mereka punya nalar dan akal sehat ketika diperlakukan sebagai manusia dewasa.

5. Mereka adalah ‘Resource’ yang paling feksible menyesuaikan diri terhadap krisis jauh melebihi resources lain.

6. Mereka memiliki potensi yang tak terbayangkan ketika terhimpit. Acapkali ide brilliant muncul ketika muncul bahaya ‘kepepet’.

7. Mereka adalah resources yang bisa dipercaya memberikan lebih dari apa yang diharapkan dan berkontribusi melebihi tuntutan yang ada dalam job description

8. Mereka mampu berkorban hanya karena sebuah visi dan belief yang secara nalar kadang sulit dimengerti.

9. Mereka bisa membedakan mana komunikasi yang memanipulasi dan mana yang secara jujur terbuka dilakukan.

10. Mereka punya waktu tenggang yang tak terbatas bila keterbukaan dan kesungguhan mereka rasakan

Perusahaan yang mampu mengayomi seluruh kepentingan karyawan dengan jujur akan mendapat dukungan secara serentak, tanpa dikomandoi, bahkan dalam berbagai hal termasuk melibatkan seluruh keluarga mereka.

Sebaliknya karyawan bisa berubah menjadi resources yang sangat kejam dan bengis ketika melihat eksekutifnya tidak mengenal krisis atau bahkan menggunakan krisis untuk kepentingan pribadinya. Ditambah lagi ada susupan pihak luar yang ingin mengadu domba karyawan dan manajemen yang seharusnya satu perahu. Pihak luar tidak senang kalau ada persatuan. Persatuan membuat mereka tak mampu bergerak. Persatuan membuat intruder mati kutu. Ini yang harus dijaga oleh kedua belah pihak.

Tapi kalau salah satu pihak sudah menunjukkan gejala yang tak tanggap krisis, baik karyawan maupun eksekutif, maka hasilnya bisa ruyam. Karyawan tak mau tahu yang penting gaji, tunjangan dan seluruh fasilitas ‘as usual’ dan eksekutif masih berlaku seperti ‘as usual’, maka akan terjadi kesalahpahaman. Perundingan untuk menyelematan perusahaan menjadi perundingan untuk menyelamatkan diri masing-masing. Kalau sudah begini, kebangkrutan adalah opsi yang secara tak sadar mereka pilih sendiri. Kapal yang seharusnya selamat, harus karam hanya karena keduanya ingin memetik keuntungan bagi pihak masing-masing.Misalnya berita dibawah ini yang saya kutip dari Kompas, minggu 23 November 2008 dengan judul yang agak provokatif “ GM “berniat” Bangkrut. Menunjukkan ketidak pekaan eksekutif terhadap krisis walaupun dalam bantahannya mereka mengatakan mereka sudah berminat menjual jet pribadi sebelum bertemu Konggres. Masalahnya adalah mereka tetap menggunakan jet hanya dengan berbagai alasan yang dalam kondisi biasa adalah hal yang lumrah.

“Pihak Kongres mengecam parta pemimpin industri otomotof AS yang datang dengan jet mewah ke Washington DC guna memohon dana talangan. CEO GM Rick Wagoner dikecam keras karena ingin mendapatkan uang rakyat, tetapi tak mengorbankan kenikmatan pribadinya untuk semua itu. Kecaman juga diarahkan kepada pimpinan Ford, Alan Mulally, dan Robert Nardelli dari Chrysler LLC, yang juga datang ke Konggres menggunakan jet pribadi. Mereka dinilai tidak memiliki kepekaan krisis saat hendak meminta dana talangan yang sebenarnya merupaka uang rakyat”.

CHR haruslah menjadi ‘devil advocate’ bagi pihak yang kurang peka akan krisis. Menjadi tugas yang amat berat, ketika CHR harus berada di tengah, diantara kerumunan serigala dan tukang jagal. Tapi menjadi tugas yang ringan, ketika CHR berada di kawanan domba dan Gembala. Nah, ini tantangannya, bagaimana membuat karyawan tetap sebagai domba di krisis yang sulit ini dan tetap membuat eksekutif sebagai Gembala yang baik.
Simak dalam Reflection Dinner ...... sub judul ... berada ditengah domba dan gembala atau serigala dan tukang jagal ......

Oleh : Paulus Bambang W.S.
Vice President Director PT United Tractors Tbk.Pengarang Buku (Best Seller): “Built to Bless. The 10 Commandments to transform your Visionary Company – Built to last – to a Spiritual Legacy”

SIKAP KEPEMIMPINAN HR MENGHADAPI KRISIS (2)

Yang paling ‘fragile’ dalam keadaan krisis sebenarnya bukan karyawan yang paling bawah tapi CEO dan jajaran direksi yang posisinya terbatas pada jangka waktu tertentu. Makin di atas makin besar goncangannya. Makin dipucuk makin berat kemampuannya bertahan baik secara intelektual, emosional dan spiritual. Ini yang harus disadari oleh CHR. Mereka adalah target operasi yang harus dijadikan prioritas agar tidak kalut sehingga mengambil keputusan yang membabi buta.

Kondisi di atas yang cepat diterpa badai dan paling dahsyat terkena petir ini membuat banyak CEO langsung melakukan reaksi yang sebenarnya konyol hanya untuk menunjukkan bahwa ia memiliki ‘sense of urgency’.

Yang paling cepat dan paling mudah dilakukan adalah pengurangan karyawan. Pemikirannya sangat sederhana, bila karyawan dikurangi maka ongkos operasi bisa ditekan, bila ongkosnya sudah turun maka profitabilitas bisa dijaga. Pemikiran naif yang tak pantas dilakukan oleh eksekutif yang menerapkan ‘built to bless’. Karyawan bukanlah sumber daya pertama yang harus dikorbankan, karyawan seharusnya menjadi yang amat sangat dan paling terakhir dilakukan pengurangan setelah semua upaya normal dijalankan.

Ingat, karyawan adalah HUMAN RESOURCES. Artinya bukan sekedar RESOURCES tapi juga HUMAN.

Dalam keadaan krisis, tatkala penjualan perusahaan turun, produksi turun, karyawan kecillah yang menderita. Pendapatan mereka berkurang banyak karena lembur tiada lagi, insentif produksi menghilang namun pengeluaran rumah tangga mereka meningkat.

Gelombang PHK yang terjadi di belahan barat, bukanlah contoh yang pantas untuk dijadikan ‘best practices’. Sebuah sistim yang menganggap karyawan sebagai resources yang tidak ‘in line’ dengan hubungan industrial Pancasila.

Salah satu CEO yang mampu menyikapi hal ini dengan Human Spirit yang kuat adalah Chua Sock Koong, pimpinan Singtel. Naluri keibuannya membuat ia berani berujar :

“The current global financial crisis is unprecendented. A slowdown of the growth of the group’s businesses is expected. Singtel profit falls 12 % on overseas investments. The company will look to cut costs and has implemented a hiring freeze but isn’t looking to reduce headcount at this time’. As a business we continue to review operating efficiencies .... there could be redeployment of headcount across different businesses, staff cuts will be something we see as a last resort’.

Sikap terhadap krisis dari CEO harus mencerminkan sikap krisis dari CHR dalam hal mempertahankan ‘human spirit’. Kegagalan CHR menjadi ‘crisis team’ dari CEO adalah kegagalan fatal yang akan berakibat pada kondisi karyawan secara keseluruhan.

CHR harus mampu memberikan solusi strategis agar langkah praktis seperti pemotongan gaji dan pengurangan tidak serta merta dilakukan. Frekuensi pertemuan dengan CEO harus ditingkatkan. CHR jangan sibuk dan menyibukkan sendiri dengan program penghematan agar dianggap tanggap terhadap krisis. Tapi CHR justru harus tanggap terhadap spirit seluruh karyawan untuk bertahan dan menang dalam krisis. Dan inilah yang sebenarnya dibutuhkan CEO, sebuah saran yang fundamental dan tidak menimbulkan masalah hubungan industrial.

Sepuluh langkah yang harus dilakukan CHR dalam krisis agar bisa menjadi ‘trusted partner’ bagi CEO dibandingkan team manajemen yang lain adalah :

1. Membedah akar krisis yang menghimpit perusahaan dengan angka di atas angka finansial. Mengerti akar permasalahan teknis dengan meminta bantuan team operasional.

2. Ikut aktif dalam mengusulkan langkah penyelamatan jangka pendek, medium dan panjang yang memperhatikan aspek moral karyawan secara keseluruhan. Bersikap optimis dan tidak terjerembab pada pesimisme sesaat. Andalah yang ‘set the tone’ of the company.

3. Mengusulkan team penyelamatan krisis dengan alokasi SDM yang paling baik. Justru di krisis inilah pengembangan karyawan yang sesungguhnya bisa terjadi. Test terhadap karyawan yang potensial bisa diamati secara jelas. Gunakan krisis yang ada justru untuk menemukan mutiara.

4. Buatlah team yang cross functional dan cross business untuk melakuan inovasi baru agar mampu melakukan lompatan ketika krisis sudah berlalu. Persiapan terhadap ‘upturn’ harus dilakukan.

5. Komunikasi rutin dengan CEO agar mengerti kondisi hati CEO serta mampu memberikan ‘brutal facts’ yang jujur dan transparan.

6. Menjalin komunikasi yang efektif dengan serikat pekerja agar terjadi kesamaan pandang dan menghindari distorsi akibat rumor yang tidak bertangung jawab. Mereka adalah mitra perusahaan yang paling handal dan terpercaya.

7. Komunikasi secara terbuka dengan seluruh jajaran pimpinan menengah dan lapangan mengenai pengaruh krisis terhadap perusahaan. Kejujuran adalah kunci tanpa menutupi fakta. Sebaliknya tidak memperburuk keadaan dengan tujuan menekan karyawan

8. Menyarankan dan membimbing setiap pimpinan agar semakin erat dengan karyawan dan berkomunikasi secara heart to heart, agar semangat karyawan justru semakin meningkat

9. Memberi solusi pada karyawan untuk bersikap dalam krisis termasuk dan tak terbatas dalam hal sikap hidup sebagai pribadi.

10. Aktif dalam evaluasi bulanan, mingguan dan harian terhadap ‘crisis management’ dan ‘crisis action’ yang sudah disepakati. Jangan hanya jadi peserta tapi jadi aktor aktif yang menggerakkan irama efisiensi perusahaan.

Kalau CEO berhasil Anda ‘jinakkan’ dalam krisis ini, maka hantaman badai di perusahaan Anda tidak semakin besar karena diperbesar oleh kekalutan CEO Anda. You have to set the tone, taste and the tale of the company.

Oleh : Paulus Bambang W.S.
Vice President Director PT United Tractors Tbk.Pengarang Buku (Best Seller): “Built to Bless. The 10 Commandments to transform your Visionary Company – Built to last – to a Spiritual Legacy”

SIKAP KEPEMIMPINAN HR MENGHADAPI KRISIS (1)

Jumpa lagi dengan Anda setelah beberapa saat berdiam diri melihat reaksi para pembaca. Sekarang saya mau mulai lagi berinteraksi dengan Anda. Berbagi kiat dalam situasi yang penuh tantangan dan peluang seperti saat ini.

Tidak ada yang menduga bahwa perubahan terjadi demikian cepat. Kelihatan matahari sedang bersinar dengan teriknya, tiba-tiba datang topan angin yang dahsyat. Banyak yang sedang merenovasi perusahaan dan mengembangkan sayap dengan tingkat ekspansi yang belum pernah dilakukan setelah krisis 1997. Tiba-tiba, semua harus berhenti atau kalau tidak diperlambat. Dari injakan gas penuh langsung beralih dengan rem penuh. Kalau tidak hati-hati dan kompeten maka mobil akan berputar dan berbalik arah menghantam mobil lain yang juga dengan kecepatan tinggi di jalur yang sama.

Para CEO yang kalut dan panik, apalagi memikirkan bonus mendatang yang sudah kelihatan bersinar selama 9 bulan, berusaha menjaga agar 3 bulan tidak seperti nila yg merusak susu sebelanga.

Yang sangat pesimis langsung tekan rem sekuat-kuatnya hanya untuk melindungi hasil keuangan di rugi laba dan neraca tahun ini. Program pengetatan ikat pinggang langsung dicanangkan, seperti :

1. Pangkas semua biaya yang bisa dipangkas. Cost reduction bukan Cost management
2. Tunda semua investasi yang ada
3. Pengurangan fasilitas buat karyawan
4. Pengurangan karyawan secepatnya
5. Berbagai program lain untuk menyelamatkan angka-angka keuangan

Hasilnya dalam jangka pendek, misalnya akhir tahun 2008, akan sangat terasa. Angka metriks dan rasio keuangan bisa dikelola dengan baik. Persediaan terjaga dengan baik. Piutang mampu dikelola dengan prima. Siklus operasi terjaga bagus. Pokoknya, buku perusahaan tampil dengan baik walau krisis melanda.

Benarkah demikian ?

Ini yang menjadi pertanyaan yang harus dijawab bukan dengan menunjukkan angka keuangan dan hasil rugi laba yang diperoleh. Bisnis bukan sekedar angka tapi bagaimana angka itu terjadi.

Dan bagaimana pula implikasinya pada jangka menengah dan panjang ?

Kalau persediaan yang sedang dalam pesanan misalnya, berhasil diturunkan dengan pembatalan sepihak kepada pemasok. Tanpa mau dipenalti dengan berdalih pada krisis. Ditambah lagi, pembayaran atas pesanan yang sudah diterima dilakukan dengan waktu sekenanya, dengan kurs mata uang yang ditentukan sendiri dan diatur retur bagi barang yang kelihatannya tak mampu dijual dalam tahun takwin ini tanpa persetujuan lebih dulu. Memanfaatkan kekuatan untuk menekan dan berdalih krisis global.

Sebaliknya, bagi pelanggan mereka yang sudah membuat kontrak pembelian maka kontrak itu harus dipenuhi. Apapun caranya pelanggan dipaksa untuk berbisnis seperti kontrak. Tak mau tahu soal perbedaan kurs dan bunga bank yang meningkat serta proyek yang dibatalkan bowheer mereka. Pelanggan adalah pesakitan yang harus menerima nasib menerima barang sesuai pesanan. Jangankan bicara soal kepuasan pelanggan, keluhan pelanggan pun tidak diperhatikan. Pokoknya fokus pada kewajiban dan hak bukan soal kemitraan dan hubungan jangka panjang. Apalagi kalau pelanggan ini hanya pelanggan kelas teri dan sewaktu, penekanan sudah dalam batas teror.

Belum puas mampu menekan pemasok dan pelanggan, karyawan diancam dengan keras. Tak mau tahu target harus tetap dicapai, apapun caranya. Halal bukan ukuran. Pokoknya harus mencapai target. Pengeluaran harus diturunkan sampai batas minimal tapi target harus dicapai pada tingkat maksimal.

Yang paling mengerikan kalau mengkaitkan pencapaian target pendek tiga bulan ini dengan pemotongan bonus besar-besaran. Lebih ngeri lagi kalau genderang PHK mulai dikumandangkan.

Dalam jangka pendek, gaya premanisme seperti itu memang membuahkan hasil keuangan yang kelihatannya kuat. Tapi kalau mau jujur, pemimpin yang demikian itu mengorbankan masa depan hanya untuk memikirkan pencapaian hasil tahun ini. Mengorbankan eksistensi dan going concern perusahaan agar bonus dan kinerjanya tahun ini tetap terjaga.

Nah, disinilah peran Chief Human Resources (CHR) menjadi sangat vital agar gerakan yang kalut dan panik ini tidak terjadi. Bisnis bukan soal hasil jangka pendek. Bisnis adalah soal sustainability jangka panjang. Moral dan semangat karyawan, kemitraan dengan pelanggan serta hubungan baik dengan pemasok harus tetap diutamakan.

CHR tidak boleh menjadi tukang jagal yang mengeksekusi keinginan pimpinan untuk melakukan program yang merusak semangat karyawan dan merusak nilai-nilai dan falsafah perusahaan. Perusahaan akan lebih cepat karam kalau nilai-nilai yang selama ini dibangun dihancurkan hanya untuk mencapai hasil baik tahun ini.

CHR adalah bagian dari top management tapi juga bagian dari seluruh stakeholders termasuk karyawan, pemasok dan pelanggan. CHR penjaga nilai sakral etika bisnis yang baik. CHR harus berani say ‘NO’ dan dicatat dalam ‘dissenting opinion’, kalau dipaksa melakukan program yang merusak falsalah dan going concernnya perusahaan.

Agar tidak terjadi hal yg mengerikan ini, maka CHR harus secara proaktif menjadi ‘transition team atau 'crisis team’ di perusahaan sebagai CEO Partner untuk mengawaki kapal pada saat badai terjadi. CHR harus menjadi yang terdepan dalam mengartikulasikan krisis dan dampaknya bagi perusahaan, karyawan dan stakeholders lain. CHR harus paham apa arti krisis ini secara operasi dan keuangan. Selanjutnya bisa melakukan langkah-langkah strategis bersama CEO agar membuat seluruh karyawan bersatu padu, bahkan lebih erat, menjadi super team untuk bertahan melawan badai ini.

Lalu, bagaimana caranya ?

Oleh : Paulus Bambang W.S.
Vice President Director PT United Tractors Tbk.Pengarang Buku (Best Seller): “Built to Bless. The 10 Commandments to transform your Visionary Company – Built to last – to a Spiritual Legacy”