Photobucket

Konsultan Manajemen, Mutu, SDM & Pelatihan


CARI KONTEN YANG DIBUTUHKAN DARI BLOG INI :

PROFILE HARD-HI SMART CONSULTING

Lihat Lebih banyak Produk & Jasa Hard-Hi Smart Consulting

PRODUK & JASA HARD-HI SMART CONSULTING

Lihat Lebih banyak Produk & Jasa Hard-Hi Smart Consulting

HUBUNGI KAMI

HARD-Hi SMART CONSULTING
Griya Citra Kayumanis Blok A No.7, Bogor 16168, INDONESIA.
Hotline Service (Fast Response) : 0878-7063-5053
( Telp / SMS / Whatsapp / BBM
PIN : 53AB4CC8 )

E-MAILS :
m.shobrie@gmail.com
hardhi.smart.consulting@gmail.com

WEBSITES :

www.hardhismart-consulting.blogspot.com
www.kingoftraining.blogspot.com
www.tokosdm.blogspot.com
www.shobries-paradigm.blogspot.com

www.blog-alislam.blogspot.com



VIDEO COMPANY PROFILE

SAMPLE IN-HOUSE TRAINING

MAESTRO YANG BERNAMA : J. LENNON & BILL GATES

Siapa yang tak kenal mendiang John Lennon? Musisi jenius ini dikenal sebagai salah satu seniman terbesar abad 20. Bersama tiga sobatnya, Paul Mc Cartney, Ringo Starr dan George Harrison, ia membangun the Beatles sebagai grup musik paling legendaris di dunia, dan juga salah satu band terkaya di muka bumi. Lewat kecerdasannya, ia meracik lagu-lagu abadi semacam Come Together dan Imagine. Tak heran, jutaan orang menangisi kepergiannya yang tragis di tahun 1980, 8 Desember, tepat jam 10.50 malam ketika empat peluru revolver menembus tubuhnya.

Lalu, siapa pula yang tidak kenal Bill Gates? Banyak orang mengenalnya sebagai brilliant man yang pada usia 25 tahun nekad drop out dari Harvard University; dan memutuskan untuk membangun perusahaan yang kelak kita kenal sebagai salah satu most valuable company on earth, Microsoft. Pria visioner ini juga acap diakui sebagai salah satu arsitek utama dibalik kemajuan industri teknologi informasi global. Dan pasti, Bill Gates juga banyak dikenal sebagai orang terkaya di dunia dengan total kekayaan lebih dari lima ratus trilyun rupiah.

Lalu, apa hubungan Bill “Microsoft” Gates dan John “the Beatles’” Lennon? Lelaki dari kota Seattle dan Liverpool ini disebut disini karena keduanya mewakili sebuah tema yang kini makin terasa penting: yakni tentang apa itu makna sebenarnya dari human capital atau modal insani. Tak pelak kedua orang itu menunjukkan contoh yang paling jitu, bahwa human capital atau modal manusia-lah yang pada akhirnya akan menentukan kemajuan peradaban dan kebudayaan; bukan aset fisik, kecanggihan teknologi, modal finansial ataupun strategi branding yang heroik. Keduanya juga memberikan ilustrasi betapa jika dikelola dengan brilian, potensi dan kekuatan human capital akan mampu memberikan value added yang bersifat dramatik, dan mampu memicu tumbuhnya sebuah kekuatan bisnis dalam skala yang masif.

Microsoft mungkin tak akan sedahsyat sekarang jika ia tidak dikendalikan oleh kejeniusan seorang Bill Gates. Demikian pula tanpa talenta John Lennon, grup band the Beatles barangkali tak akan pernah dikenang oleh jutaan manusia di muka bumi hingga hari ini. Kisah diatas dengan kata lain menegaskan arti penting dari konsep human capital : yakni bahwa modal kapabilitas, ketrampilan dan kecerdasan sumber daya manusia merupakan elemen fundamental bagi kejayaan sebuah organisasi — entah organisasi itu berupa perusahaan global atau sebuah grup band musik.

Pertanyaannya kini adalah : apa yang mesti dilakukan agar kita bisa mereproduksi sumber daya manusia sekelas Bill Gates atau John Lennon?

MEMBUAT SLIDE PRESENTASI YANG "WOOOW...!!!"

Membuat slide presentasi dengan powerpoint kini mungkin telah menjadi satu ketrampilan yang perlu dikuasai oleh banyak orang – entah Anda seorang mahasiswa, dosen, trainer, pekerja kantoran, atau seorang wirausahawan seperti Bill Gates. Problemnya, hingga hari ini saya masih acap menyaksikan mutu slide presentasi yang pas-pasan, untuk tidak mengatakan berantakan. Beberapa waktu lalu misalnya, saya menyaksikan tayangan presentasi dari seorang petinggi dari sebuah organisasi publik; dan sesaat setelah melihat halaman pertama slide, nafsu saya mendengarkan ceramahnya mendadak lenyap. Penyebabnya: mutu slide presentasi yang ditayangkan benar-benar memilukan. Tragedi slide presentasi semacam itu mestinya bisa dihindari jika kita tidak melakukan 3 (tiga) kesalahan fatal.

Marilah kita telusuri Kesalahan-kesalahan tersebut satu per satu :

Kesalahan Yang Pertama
Memindahkan word ke powerpoint. Maksudnya, powerpoint dan word adalah dua aplikasi dengan fungsi yang amat berbeda. Sialnya, perbedaan yang amat mendasar ini acap dilupakan orang ketika membuat slide presentasi. Demikianlah, saya acap melihat kalimat-kalimat panjang dan rinci dari word langsung saja dicopy paste ke dalam powerpoint – dengan font yang kecil lagi (misal ukuran 12 atau 14). Ini namanya, powerpoint abuse atau penganiayaan slide presentasi. Solusinya : jika Anda akan menulis persentasi dengan bullet point, mungkin ada baiknya jika kita mengingat 5 x 5 rule. Aturan yang bisa diterapkan secara fleksibel ini intinya mengajak kita untuk hanya membuat maksimal 5 bullet point dalam setiap halaman slide; dan masing-masing poin sebaiknya terdiri tak lebih dari lima kata. Slide presentasi adalah slide presentasi. Maksudnya : tayangkan hanya poin-poin pokok dari gagasan yang ingin Anda sampaikan. Tulisankan gagasan itu dengan ringkas – hindari kesalahan fatal berupa keinginan untuk menampilkan kalimat-kalimat panjang dan rinci dalam sebuah slide.

Kesalahan Yang Kedua
Yang juga acap saya temui : SEMUA TULISAN MEMAKAI HURUF KAPITAL. Untuk judul sebuah slide mungkin oke menggunakan huruf besar semua. Namun ketika Anda menjabarkan dalam poin-poin yang ringkas dalam baris sesudahnya, gunakan huruf non-kapital. Sebab kalimat panjang yang semua menggunakan HURUF KAPITAL terbukti justru sulit dibaca. Selanjutnya, kalau bisa gunakan font dengan ukuran minimal 24 (ukuran yang lebih kecil akan membuat orang yang duduk dibelakang akan kesulitan membacanya). Dan jangan lupa, sebaiknya gunakan jenis huruf sans seriff seperti Arial, Verdana atau Georgia. Dan bukan jenis huruf seriff seperti Times New Roman. Sejumlah pakar presentasi menyebutkan, dalam medium digital seperti layar komputer, jenis huruf seperti Arial lebih mudah dibaca dibanding Times New Roman. Dan jangan lupa juga satu hal : konsistensi. Maksudnya, jika kita menggunakan huruf Arial dengan font size 28, maka sebaiknya jenis dan ukuran inilah yang kita pakai dalam semua halaman slide. Ini perlu diingat, sebab tak jarang saya melihat pemakaian jenis huruf yang tidak konsisten. Kesannya jadi berantakan dan tidak profesional.

Kesalahan Yang Ketiga
Kita memang mesti meletakkan gambar (image) yang relevan dan artistik. Sialnya, saya banyak melihat slide dengan gambar yang dicomot dari clip art (banyak tersedia dalam powerpoint); dan sorry to say, hal ini akan membuat slide Anda terkesan kampungan. Apalagi jika clip art itu diletakkan secara serampangan – tanpa memperhatika segi estetika. Kalau ingin menaruh gambar, ya cari gambar (image) yang professional look, jangan pakai clip art. Dan yang tak kalah penting : semuanya ditata dengan memperhatikan aspek estetika, dan sekali lagi konsisten. Maksudnya, style peletakan gambar kalau bisa mengacu pada pola tertentu yang konsisten (dan bukan asal taruh saja). Mungkin dalam hal desain image ini ada baiknya jika kita langsung berguru dari presentasi sang pencipta PowerPoint itu sendiri (lihat beberapa contoh presentasi melalui image dibawah ini).

Seperti yang kita saksikan dalam contoh diatas, desain gambar dan tata letak kalimat tampaknya disusun dengan mengacu pada nilai estetika. Kita mungkin sulit meniru kejeniusan Tuan Gates dalam membikin software, namun tentu bukan hal yang relatif rumit untuk bisa mengcopy desain presentasi seperti yang terlihat dalam gambar diatas. Yang dibutuhkan hanyalah kepekaan kita akan nilai-nilai estetika (sense of aesthetic).

Demikianlah, tiga kesalahan fatal yang mestinya bisa kita hindari jauh-jauh ketika kita hendak membuat slide presentasi. Sebab dengan itulah kita mungkin baru bisa mendesain sebuah slide yang elok nan menggetarkan. Dan bukan deretan slide yang garing nan membosankan. Dengan mutu yang memilukan. Duh...

Photo : by Niall Kennedy under creative commons license.

KRITERIA BALDRIGE UNTUK PERUSAHAAN BISNIS

CRITERIA FOR BUSINESS

1. Leadership
2. Strategic Planning
3. Customer and Market Focus
4. Measurement, Analysis, and Knowledge Management
5. Workforce Focus
6. Process Management
7. Results

KARAKTERISTIK UTAMA KRITERIA UNTUK BISNIS

Kriteria berfokus pada hasil-hasil bisnis dengan bidang-bidang kunci yaitu: Hasil Produk dan Layanan, Hasil Fokus Kepada Pelanggan, Hasil Finansial dan Pasar, Hasil Tenaga Kerja, Hasil Efektivitas Organisasional, serta Hasil Kepemimpinan.
Kriteria bukan merupakan suatu ketentuan yang memberi petunjuk (non prescriptive) tapi bisa diterapkan pada segala bentuk organisasi (adaptable).
Kriteria tidak menetapkan keharusan untuk menggunakan tools, teknik, teknologi, sistem, ukuran atau starting points tertentu. Tidak merekomendasikan perlunya dibentuk unit atau departemen mutu, perencanaan atau fungsi-fungsi tertentu.
Kriteria juga tidak mengharuskan agar unit berbeda dikelola dengan cara yang sama. Kriteria mendukung perspektif kesisteman untuk memelihara penyelarasan tujuan dengan skala organisasi sebagai kesatuan lengkap. Penyelarasan tujuan organisasi melekat dalam struktur yang terintegrasi antara: Tata Nilai dan Konsep Inti (Core Values and Concepts) - Kriteria - Orientasi kepada Hasil - Hubungan Sebab - Akibat di antara Item.

Kriteria mendukung diagnosis berbasis tujuan karena Kriteria dan Petunjuk Skoring (Scoring Guidelines) merupakan 2 bagian sistem diagnostik. Kriteria merupakan kumpulan 18 persyaratan berorientasi kinerja sementara Petunjuk Skoring menguraikan dimensi penilaian Proses yaitu: Approach, Deployment, Learning, Integration (Pendekatan, Penjabaran, Pembelajaran, Integrasi) dan penilaian Hasil yang memiliki dimensi: Level, Trend, Comparison, Integration (Level, Tren, Perbandingan, Integrasi).

KRITERIA MALCOLM BALDRIGE DI INDONESIA

Begitu gegap gempita implementasi Kriteria Baldrige dan pemberian penghargaan berbasis Baldrige di luar negeri, termasuk di Negara-negara tetangga kita, bagaimanadengan Indonesia? Pengenalan Kriteria Baldrige di Indonesia pertama kalai dilakukan oleh Telkom. Konsekuensi dari go public dan dual listingnya saham Telkom (di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek New York) tahun 1996 mengharuskan Telkom untuk membangun system manajemen dan kinerja berstandar dunia (World Class Operator). Setelah melalui proses pencarian terhadap system manajemen ekselen tersebut - termasuk mengumpulkan informasi melalui survey terhadap beberapa perusahaan di Negara-negara Eropa, Singapura, dan Amerika - akhirnya Telkom memilih Kriteria Baldrige sebagai upaya meraih standar dunia tersebut. Pengadopsian Kriteria Baldrige di Telkom terjadi mulai tahun 2000.

Meski sudah dipelopori oleh Telkom, pengadopsian Kriteria Baldrige oleh organisasi-organisasi di Indonesia relative lambat. Hal itu juga diakui oleh Bachtiar Simamora, PhD., CEO PT WEDnet Indonesia yang juga konsultan Baldrige bersertifikasi. "Jumlahnya masih sedikit. Selain Telkom, yang mulai menerapkan Kriteria Baldrige, antara lain, Pertamina, Krakatau Steel, Sucofindo, Bank BNI, Wika, dan segelintir BUMN lainnya." Toh ia berharap, pengadopsian Kriteria Baldrige bisa lebih cepat lagi, baik dari BUMN maupun perusahaan swasta dan organisasi pemerintahan. "Alasannya sederhana.

Kompetisi semakin mengglobal. Tuntutan menjadi organisasi ekselen tidak terelakkan," tambahnya. Hasnil Rsyid, Manajer di Pertamina, mengakui perusahaannya telah mengadopsi Kriteria Baldrige. "Namun untuk detilnya, hanya direksi yang boleh bicara," katanya saat dihubungi Human capita. Implementasi Kriteria Baldrige di bank BNI juga telah dimulai tahun 2005, meskipun kabarnya proses implementasi tersebut berlangsung agak tersendat-sendat. Proses implementasi Kriteria Baldrige di bank BNI dibantu oleh konsultan dari India, tetapi diduga konsultan tersebut sedikit menghadapi masalah dalam menstimulir implementasi Kriteria Baldrige karena beberapa sebab.

Untuk menumbuhkan pemahaman terhadap Kriteria Baldrige di kalangan BUMN, tanggal 29 April 2004 PT WEDnet menggandeng Kantor Meneg BUMN dan BUMN Executive Club untuk menyelenggarakan seminar pengenalan Sistem Baldrige. Sebagai tindak lanjutnya, para CEO BUMN mendeklarasikan embrio dari Indonesia Quality Award (IQA) for BUMN 22 Juli 2004. IQA for BUMN diharapkan menjadi cikal bakal dari IQA secara komprehensif dan berskala nasional. Pemberian IQA for BUMN akan memberikan sejumlah manfaat, bagi seluruh stakeholder BUMN, seperti yang disebutkan dalam buku pedomannya (dan dikutip Abdul Haris).

Pertama, mengetahui tingkat kinerja yang telah dicapai untuk mendorong peningkatan kinerja perusahaan lebih lanjut. Kedua, memperoleh umpan balik berupa peluang untuk perbaikan sebagai salah satu upaya untuk
meningkatkan kinerja secra berkesinambungan. Ketiga, meningkatkan daya saing BUMN. Keempat, meningkatkan citra BUMN. Kelima, melengkapi system pengukuran kinerja BUMN yang berlaku saat ini. Keenam, memberikan penghargaan dan pengakuan kepada BUMN yang memiliki kinerja ekselen.

Pemberian penghargaan terhadap organisasi berdasarkan Kriteria Baldrige bagian tak terpisahkan bagi sebuah Negara jika ingin menjadikan mutu dan kinerja ekselen sebagai upaya membangun daya saing. Berdasarkan praktik di banyak Negara, termasuk di Negara asalnya Amerika, pemerian penghargaan berbasis Kriteria Baldrige sangat efektif dalam upaya memacu seluruh organisasi untuk meraih kinerja ekselen. Pada gilirannya, hal itu berdampak pada daya saing Negara di kancah persaingan global. Abdul Haris dan Bachtiar Simamora berharap, pemerintah segera mengadopsi Kriterie Baldrige demi kemajuan perusahaan dan Negara Indonesia. Apapun namanya, apakah IQA atau katakanlah Indonesia Performance Excellence Award (IPEA), yang penting harus ada gerakan nasional secara sistematis dan dikelola secara professional-independen untuk mengilhami, mendorong, dn mengayomi gerakan Baldrige di Indonesia. "Kita tertinggal jauh di belakang, dan harus segera berbuat sesuatu nyata. Waktu yang tersedia tidak lama lagi," tukas mereka di tempat terpisah. Abdul Haris menambahkan, "Kita tentu saja tidak ingin pepatah lama yang mengatakan it's too late to lock the stable when the horse has been stolen terjadi di negeri ini."

Dewasa ini, selain segelintir BUMN, Kriteria Baldrige juga mulai diadopsi oleh Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) sejak awal 2005. tujuan utamanya agar hasil audit yang dikeluarkan BPK benar-benar berkualitas dan memberi nilai bagi para penggunanya, khususnya pihak legislatif. Untuk mewujudkan tujun itu, mau tak mau, harus ada sebuah sistem dan proses terintegrasi dari hulu ke hilir yang menjamin terwujudnya tujuan tersebut. Menurut Dwi Setiawan, anggota Tim Perencanaan strategis BPK, dalam implementasi Kriteria Baldrige, BPK dibantu oleh konsultan yang didanai oleh USAID. "Implementasinya masih pada fase awal, tetapi tahapan awareness terus berjalan," tuturnya.

Jalan berliku dan panjang, boleh jadi, masih menghadang Indonesia untuk benar-benar mengadopsi Kriteria Baldrige. Supaya tidak repot lagi?- dan seringkali malah melenceng?- ada baiknya Indonesia mengadopsi Kriteria Baldrige secara utuh dari MBCFPE yang asli dari Amerika. Maklum, MBCFPE disusun oleh sekitar 400 profesor dan PhD terkemuka di Amerika sehingga benar-benar komprehensif, valid, dan berkualitas tinggi. Bagi mereka yang pernah mempelajari MBCFPE, tak ada keraguan sedikitpun tentang kehebatan Kriteria Baldrige untuk menghasilkan kinerja ekselen.

Sungguh ideal bila seluruh komponen kepemimpinan di negeri ini?- pemerintah, perusahaan, organisasi nirlaba, dan organisasi public?- berpikir dalam kerangka Kriteria Baldrige dan mengadopsinya demi kemajuan bangsa. Toh, kita sudah berada at the poit of no return.

KRITERIA MALCOLM BALDRIGE UNTUK KINERJA PRIMA PERUSAHAAN

Malcolm Baldrige Criteria for Performance Excelence (MBCFPE) merupakan panduan manajemen terbaik utnuk membuat sebuah perusahaan menjadi unggul, ekselen, atau kelas dunia. Penghargaan (award) berbasis criteria Baldrige telah membuat daya saing Negara dalam percaturan global meningkat. Jika mutu menjadi prioritas nasional, Indonesia harus segera mengadopsinya.

Persaingan bisnis global sangat kejam. Sejarah telah membuktikan, kemenangan dalam persaingan hanya bisa diperoleh perusahaan-perusahaan ekselen (Excellence Company). Perusahaan-perusahaan Amerika telah banyak menjadi korban dari persaingan tersebut. Pada era 70-an hingga awal 80-an, pasar Amerika diserbu oleh produk-produk industri Jepang, dari elektonika hingga otomotif. Pelan tapi pasti, produk-produk Jepang yang tadinya dianggap kelas dua, berhasil mencuri pasar Amerika. Lama kelamaan, Jepang bukanlagi sekedar mencuri, bahkan makin merebut pangsa pasar yang signifikan. Detroit (pusat produksi 3 besar raksasa otomotif Amerika) panic. Perusahaan-perusahaan Amerika pun guncang.

Dibalik keberhasilan produk-produk Jepang tesebut, adalah orang Amerika juga arsiteknya, yakni Edward Deming dn Joseph M. Juran. Mereka berdua memperkenalkan system pengendalian kualitas menggunakan diagram control, teknik smpling statistic, dan analisis ekonomi modern kepada para manajer Jepang setelah Perang Dunia II, sebagai bagian dari program Jendral Mac Arthur untuk membangun kembali Jepang yang telah hancur akibat bom di Hiroshima dan Nagasaki. Perusahaan Jepang kemudian memperkenalkan konsep QCC (Quality Control Cycle) sebagai inti dari TQM (Total Quality Management), yang di Indonesia lebih dikenal dengan GKM (Gugus Kendali Mutu). Konsep TQM disempurnakan dengan memasukkan prinsip Kaizen, yaitu program perbaikan sepanjang waktu (continuous improvement).

Selama dua decade, perusahaan Jepang terus berjuang meningkatkan kualitas produk/jasanya, sementara perusahaan Barat nyaris terlena dengan kedigdayaannya. Sejak tahun 70-an, produk perusahaan Jepang telah memiliki keuggulan daya saing yang bagus di pasar dunia. Beberapa kalangan di Amerika tersentak dengan kemajuan cepat yang diraih produk atau jasa perusahaan Jepang, walaupun banyak manajemen perusahaan Amerika belum menganggapnya sebagai tren yang serius. Sebagian perusahaan menyadari bahwa situasi mulai berbahaya, tetapi mereka juga tidak tahu harus berbuat apa. Pada awal 80-an, media masa Amerika mulai menyoroti kemajuan besar produk perusahaan Jepang itu. Stasiun televise NBC, misalnya, menayangkan program khusus dengan judul "If Japan Can, Why Can't We?", dengan menampilkan Edward Deming yang saat itu sudah berusia 80 tahun. Sang arsitek dibalik keberhasilan perusahaan Jepang itu - dan selama ini kurang dikenal public di negaranya sendiri - dihadirkan ke hadapan eksekutif Amerika. Pemikiran Deming begitu memperngaruhi para pebisnis dan pelopor manajemen kualitas modern Amerika, macam Walter Shewart, Harold Dodge, dan banyak lagi.

Di sisi lain, kesadran yang sama muncul pula di kalangan pemerintah Amerika, khususnya pada Menteri Perdagangan Amerika, Malcolm Baldrige. Ia dinominasikan menjadi Menteri Perdagangan oleh Presiden Ronald Reagen 11 Desember 1980, dan mendapatkan persetujuan Senat 22 Januari 1981. Baldrige menjabat hingga Juli 1987, saat kecelakaan bermain rodeo di California merenggut nyawanya. Ia merupakan Menteri Perdagangan yang paling lama dan telah memberikan kontribusi besar terhadap administrasi pemerintahan dan perbaikan ekonomi. Baldrige berhasil menekan biaya lebih dari 30% dan biaya administrative per pegawai sebesar 25%. Lulusan Universitas Yale ini adalah tokoh yang sangat sepakat dengan pandangan bahwa manajemen mutu sebagai kunci bagi kesejahteraan dan kekuatan jangka panjang Amerika. Secara pribadi ia berkeinginan untuk meluncurkan sebuah Akta peningkatan Kualitas dan membantu menyusun salah satu konsep dasarnya.

Akta tersebut sedang bergulir di Kongres Amerika ketika Agustus 1986 senator Don Fuqua mengajukan usulan Undang-Undang (Bill 5321) tentang National Quality Improvement Award yang bertujuan untuk mendorong perusahaan Amerika meningkatkan control mutu dan daya saing. Tahun 1987, Kongres menyetujiu dibutnya program penghargaan (award) untuk menghargai organisasi di Amerika atas pencapaiannya di bidang mutu dan kinerja sekaligus meningkatkan kesadaran tentang pentingnya mutu dan kinerja ekselen sebagai kunci daya saing. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Konges dan Pemerintah Amerika mengabadiakn namanya dalam programpenghargaan tersebut: Malcolm Baldrige National Quality Award (MBNQA). Tanggal 20 Agustus 1987, Presiden Ronald Reagen menandatangani MBNQA menjadi Undang-Undang.

Peristiwa ini, seperti ditulis Abdul Haris ( sekarang Direktur Jaringan dan Solusi PT Telekomunikasi Indonesia Tbk) dalam bukunya 7 Pilar Perusahaan Unggul, menjadi tonggak sejarah yang penting bagi bisnis dn industri Amerika. Tahun 1991, majalah Business Week bahkan menulis: "Peristiwa ini adalah revolusi global yang mempengaruhi semua bidang bisnis. Mulai tahun 1990-an dan tahun-tahun selanjutnya, kualitas harus tetap menjadi prioritas utama dalam bisnis". Hampir semua perusahaan Amerika kemudian mengadopsi prinsip kualitas ini sehingga daya saing perusahaan Amerika meningkar kembali. Riset oleh George Stephen menunjukkan adanya peningkatan pangsa pasar perusahaan di Amerika rata-rata 13,7%; volume penjualan per karyawan naik rata-rata 8,6%; tingkat pengembalian asset naik sebesar 1,3%.

DOKUMEN PALING BERPENGARUH

MBQNA tidak diberikan kepada produk atau jasa tertentu. Setiap tahunnya, 3 penghargaan diberikan kepada masing-masing kategori: manufaktur, jasa, usaha kecil, pendidikan, dan layanan kesehatan. Kategori pendidikan dan layanan kesehatan diperkenalkan tahun 1999. Bulan Oktober 2004, Presiden Bush menandatangani Undang-undang yang memberikan hak kepada NIST (National Institute of Standards and Technology), sebuah badan di bawah Departemen Perdagangan, untuk memperluas program MBNQA kepada organisasi nirlaba dan pemerintahan. Proyek percontohan untuk organisasi nirlaba dan pemerintahan dimulai 2006, dan penghargaan akan mulai diberikan 2007.

Sejak dimulainya pemberian penghargaan 1988, Baldrige National Quality Program telah berkembang dengan sangat meyakinkan. Criteria Baldrige telah memainkan peran yang sangat berharga utnuk meningkatkan kinerja mereka dengan focus pada 2 tujuan: meningkatkan nilai bagi pelanggan dan meningkatkan kinerja organisasi secara keseluruhan. Beberapa juta kopi dari Kriteria Baldrige telah didistribusikan semenjak 1988. itu diluar dari perbanyakan yang dilakukan berbagai organisasi maupun kemudahan akses secara elektronis. Gordon Black, Chairman dan CEO Haris/Black International Ltd menegaskan, publikasi terkait dengan Kriteria Baldrige untuk kinerja ekselen agaknya "menjadi dokumen yang paling berpengaruh dalam sejarah modern bisnis di Amerika."

Betapa tidak. Program Baldrige benar-benar meluas diterapkan di Amerika sendiri maupun di negara-negara lain. Di Amerika saja kini ada 44 program kualitas yang diterapkan di 41 negara bagian dan disusun berdasarkan Program Baldrige. Jumlah ini melonjak tajam dari kurang dari 10 program kualitas tahun 1991. contoh lain: semenjak 1988, 1063 aplikasi telah dikirimkan kepada MBNQA dari beragam tipe dan ukuran organisasi untuk mendapatkan penilaian. MBNQA dan Kriteria Baldrige menjadi centerpiece dari pergerakan kualitas di Amerika Serikat. Berbagai program mutu nasional telah berkembang di seputar MBNQA dan Kriteria Baldrige. Sebuah laporan yang dibuat The Private Council on Competitiveness yang berjudul "Building on Baldrige : American Quality for the 21st Century" menyebutkan: "Lebih dari berbagai program lainnya, MBNQA bertanggung jawab untuk menjadikan kualitas sebagai prioritas nasional dan menyebarluaskan praktik terbaik ke seluruh penjuru Amerika Serikat."

Adopsi Malcolm Baldrige Criteria for Perormance Excelence (MBCFPE) secara internasional pun sangat luar biasa. Saat ini hampir 80 program kualitas berbasis Kriteria Baldrige diterapkan secara internasional, salah satunya di Jepang yang didirikan 1996. Negara-negara tetangga kita sudah mengaopsi Kriteria Baldrige dan memberikan penghargaan, seperti Australia (Australian Business Excelence Award), Selandia Baru (New Zealand Quality Award), Singapura (Singapore Quality Award), Malaysia (Malaysia Prime Minister Quality Award), Thailand (Thailand Quality Award), dan Filipina (Philipine Quality Award). Sementara Negara-negara di Eropa memiliki European Quality Award. Negara-negara tersebut mengadopsi Kriteria Baldrige, baik secara utuh maupun dengan dimodifikasi serta ada pula yang melakukan perubahan menyeluruh (seperti Jepang).

Cepatnya adopsi MBCFPE oleh perusahaan-perusahaan di luar Amerika menyebabkan perusahaan-perusahaan Amerika tidak bisa berjalan pelan dalam menerapkan Kriteria Baldrige. Buktinya, dalam sejumlah area bisnis, pangsa pasar produk perusahaan Jepang dan non Jepang di Amerika tetap mengalami kenaikan. Tapi inilah yang dinamakan bisnis. Kompetisi terjadi setiap saat, sehingga seperti yang dikatakan Abdul Haris, Direktur Jaringan dan Solusi Telkom, continuous improvement saja tidak lagi cukup bila pesaing memiliki tingkat improvement yang lebih tinggi. "Di sinilah letak kelebihan Kriteria Baldrige.ia bukan hanya sekedar menjamin berlangsungnya continuous improvement, namun lebih dari itu mendorong perusahaan untuk menjadi yang terbaik," ujar peraih predikat The Best Executive Divisi Regional V 2002 itu. Dalam Kriteria Baldrige, kinerja sebuah perusahaan bisa dibandingkan dengan kinerja perusahaan lain yang sejenis berdasarkan skor (nilai) yang diperolehnya.

Pemberian penghargaan (award) merupakan bagian tak terpisahkan dari diseminasi Kriteri Baldrige di setiap Negara. Adanay penghargaan yang kredibel memacu upaya peningkatan kualitas dan kinerja organisasi secara nasional. Penghargaan diberikan atas dasar skor pencapaian sesuai dengan Kriteria Baldrige. Dan, penilaian ini harus dilakukan oleh lembaga yang kredibel dengan metode yang juga kredibel. Di Amerika, proses standarisasi, pengawasan implementasi, proses penilaian hingga pemberian penghargaan dilaksanakan olah NIST. NIST mengelola program peningkatan mutu secara menyeluruh (the Baldrige National Quality Program) bekerjasama secara erat dengan pihak swasta. Berbeda dengan pemberian penghargaan yang sering diadakan di Indonesia, organisasi yang mendapatkan penghargaan baldrige harus melalui serentetan proses penilaian. Sebuah perusahaan yang berhak mendapatkan penghargaan setidaknya harus melalui 4 tahapan utama: Pengajuan Dokumen Aplikasi, Audit Dokumen, Peninjauan Langsung Perusahaan, dan Sidang Dewan Juri (Board of Examiner).

Setiap tahapan mempunyai persyaratan yang standard an batasan sangat ketat, berupa persyaratan administrasi maupun panduan penilaian (scoring guideline). Setiap organisasi yang dinilai harus menunjukkan - melalui fakta dan data - bahwa mereka memiliki system manajemen kelas dunia dan selalu berusaha meningkatkannya. Sebelum memberikan rekomendasi organisasi yang berhak menerima penghargaan, pemeriksaan final dilakukan oleh Dewan Juri dengan mengunjungi organisasi yang dinilai sebagai kandidat penerima. Selama kunjungan lokasi ini, juri mewawancarai karyawan dan menelaan setiap catatan serta data. Objektifnya adalah untuk mencocokan informasi yang disampaikan dalam aplikasi dan jawaban pertanyaan yang muncul dalam kunjungan juri. Percuma saja bagi perusahaan jika meminta seorang ahli mengisi aplikasi Baldrige bila system manajemennya tidak didukung oleh fakta dan data.

Nilai akhir dari penilaian pemenuhan Kriteria Baldrige menjadi penentu sejauh mana pencpaian standar Dunia dari organisasi tersebut. Skor pencapaian Kriteria Baldrige berkisar dari 0 sampai dengan 1000. Kriteria Baldrige mengklasifikasikan sebuah perusahaan berdasarkan total skor yang diperoleh: Early Development (0-250), Early Result (251-350), Early Improvement (351-450), Good Performance (451-550), Emerging Industry Leader (551-650), Industry Leader (651-750), Benchmark Leader (751-875), dan World Leader ( 876-1000).

Semakin tinggi skornya, semakin ekselen perusahaan dimaksud. Skor bagi perusahaan yang tergolong ekselen minimal 650. Oleh karena system penilaian dan pihak penilai pencapaian Kriteria Baldrige memiliki kredibilitas tinggi, maka nilai yang diperoleh sebuah organisasi valid untuk diperbandingkan dengan nilai yang diperoleh organisasi lain di industri yang sama, terlepas apakah ia berada di Amerika, Indonesia, Jepang, atau dimana saja. Sebuah perusahaan yang berkinerja ekselen menurut Kriteria Baldrige dipastikan ekselen bila dibandingkan dengan perusahaan lainnya, dimanapun ia berada. Namun demikian, skor dan mendapatkan penghargaan tidak menjadi sasaran dari perusahaan yang hebat, karena yang lebih penting adalah bagaimana Kriteria Baldrige menjadi darah daging di seluruh bagian perusahaan. Hal ini ditegaskan oleh Earnest Daevenport, Chairman dan CEO Eastmen Chemical Company, yang pernah meraih penghargaan MBNQA: "Eastman, seperti halnya para pemenang Kriteria Baldrige lainnya, tidak menerapkan konsep total manajemen mutu untuk memenangkan penghargaan. Kami melakukannya agar kami semakin sejahtera dan tetap bersaing di pasar global."

Kenyataannya, ribuan organisasi di Amerika Serikat menggunakan Kriteria Baldrige untuk menelaah organisasi dan melakukan peningkatan. Program tersebut telah membantu menstimulasi gerakan luar biasa untuk meingkatkan kinerja organisasi di Amerika, termasuk perusahaan, institusi akademis, badan-badan federal, Negara bagian, dan pemerintahan local.

PRAKTIK PENERAPAN E-LEARNING DI BANK NEGARA INDONESIA (BNI)

Di Indonesia, penerapan praktik e-learning di lingkungan perusahaan masih dipandang sebagai usaha yang tidak efektif, serta sulit karena minimnya dukungan infrastruktur. Kendati demikian, tak sedikit yang telah mulai mencobanya, misalnya Bank BNI 46 yang tergolong sukses, meskipun diakui tak sepenuhnya "indah berseri".

"Ada pahit-pahitnya juga," ungkap Manajer E-Learning BNI 46 Mochammad Jukadi ketika menjadi salah satu pembicara di ajang Executive Breakfast di Hotel Mulia, Jakarta, Kamis (15/2/07). Acara yang merupakan forum sharing tentang praktik manajemen HR ini diselenggarakan oleh Oracle bekerja sama dengan DDI, MTI dan PortalHR.com.

Sebagai bank yang memiliki jumlah karyawan sangat besar, yakni 18.500 orang, BNI menyadari betapa pentingnya menerapkan sistem e-learning untuk mengoptimalkan usaha-usaha meningkatkan kualitas SDM.

"Bayangkan dengan karyawan sebanyak itu, kalau pakai sistem pembelajaran konvensional berapa kelas yang harus disediakan, belum infrastrukturnya," ujar Jukadi. Dikisahkan, BNI melirik sistem e-learning sejak 2004 lalu. Setelah kurang-lebih selama setahun menyusun blue print dan project road map-nya, baru pada 2006 mengoperasikannya.

"Tentu saja dengan didahului proses sosialisasi yang panjang," kata dia seraya merinci tahap demi tahap proses sosialisasi tersebut. Dari pengenalan tentang 'apa itu e-learning' melalui media internal sampai membuat aktivitas-aktivitas yang menggunakan learning manajemen system, misalnya survei online.

"Untuk menarik karyawan, kita beri hadiah misalnya untuk responden terbaik." Selain itu, kunci sukses penerapan e-learning di BNI menurut Jukadi tak lepas dari dukungan top management. "Kita adakan launching formal agar karyawan tahu bahwa ini hajat perusahaan dan bukan sekedar program dari departemen HR saja."

Jukadi juga berbagi tips, untuk menggairahkan keterlibatan karyawan, perlu diadakan program insentif. "Kalau di BNI, kami ada learner award, dengan hadiah laptop." Namun, ia buru-buru menegaskan bahwa semua itu hanya sebagai langkah awal untuk membangun kesadaran karyawan.

"Nanti kalau sudah berjalan baik, ya (hadiah-hadiah) itu dihapus, bisa bangkrut perusahaan kalau terus-menerus," katanya setengah berkelakar.
Tak kalah penting, demikian Jukadi, harus diingat sejak awal bahwa penerapan sistem pembelajaran e-learning bukanlah sekedar urusan pemanfaatan teknologi untuk mencapai efektivitas dan fleksibilitas.

"Banyak faktor yang perlu diperhatikan, terutama bagaimana mengubah paradigma atau mindset pegawai agar mereka mau mengakses sistem ini." Tantangan lain, disebutkan Jukadi di antaranya soal bandwidth yang sangat besar. "Ini bisa disiasati dengan pembatasan akses sampai jam tertentu."

BANK NEGARA INDONESIA (BNI) DAPAT MENGHEMAT RP.64 MILYAR SETAHUN DARI HASIL PENERAPAN E-LEARNING

Penerapan e-learning yang dilakukan oleh BNI telah menghasilkan penghematan yang signifikan terutama dari praktik pelatihan yang kini bisa dilakukan dari jarak jauh. Dari satu aktivitas ini saja, sejak diresmikan oleh Direktur Utama pada November 2006 sampai dengan Juli 2007, BNI telah menghemat biaya sebesar Rp 64 miliar.

Demikian diungkapkan oleh VP bidang HR BNI Lies Purwani dalam perbincangan dengan PortalHR.com di Jakarta. E-learning hanyalah salah satu dari buah pembaruan yang dilakukan BNI dalam Human Capital Management System (HCMS) yang telah diotomatisasikan dengan Human Resourse Information System (HRIS).

Penghematan lain yang dicapai berkat otomatisasi HCMS adalah biaya survei, tes-tes tertentu untuk karyawan, asessment sampai ke sistem penggajian itu sendiri. Namun, Lies buru-buru menegaskan bahwa penghematan itu tentu saja tergantung dari skala perusahaan. "BNI kan besar, pegawai kita banyak ada di mana-mana dari Aceh sampai ujung Papua, bahkan sampai ke luar negeri. Nah, penghematan paling besar kita peroleh dari pelatihan," jelas dia.

"Biasanya kalau pelatihan teman-teman kita datangkan ke Jakarta atau ke wilayah. Dengan e-learning biaya transpor bisa dipangkas, ini menjadi komponen terbesar penghematan, selain dari uang saku, penginapan dan uang makan," tambah Lies.

Sedangkan untuk sistem penggajian, otomatisasi telah memangkas biaya-biaya yang sebelumnya diperlukan untuk perhitungan manual yang harus dikerjakan oleh pegawai bagian umum masing-masing divisi. "Dulu, uang lembur, pajak non rutin, DOP, uang cuti, uang makan, dihitung secara manual," ujar dia.

Lies Purwani mengakui bahwa pembaruan sistem yang dicanangkan sejak Oktober 2005 tersebut memunculkan pro Dan kontra. Sebab, tidak dapat dimungkiri bahwa di balik penghematan-penghematan besar yang dicapai, ada fasilitas-fasilitas tertentu yang dirasakan hilang oleh karyawan. Bahkan, ada pekerjaan-pekerjaan tertentu yang harus dihapus

Namun, Lies melihat dari sisi lain. "Oke, ada pekerjaan yang hilang tapi kita justru bisa lebih fokus, orang-orangnya kira re-deploy, dilatih lagi dan dibekali untuk mengisi unit bisnis pada divisi lain," jelas dia sambil merinci ada sekitar 47 pegawai yang di-redeploy dari bagian umum ke unit bisnis dan unit lainnya setelah adanya sentralisasi sistem penggajian dan otomasi pekerjaan-pekerjaan administratif lainnya.

Sedangkan untuk pelatihan, dengan adanya e-learning, para karyawan dari daerah merasa kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pelatihan ke Jakarta atau wilayah-wilayah lainnya. "Kembali ke komunikasinya," tegas Lies. "KIta jelaskan ke karyawan bahwa e-learning tak menghilangkan segalanya, karena tak semua pelatihan toh bisa lewat online, ada yang memerlukan interaktif dan role play sehingga kesempatan untuk datang ke Jakarta masih ada".

Menurut Manajer HRIS BNI Sumarno, berbagai pro-kontra, silang pendapat dan keberatan yang muncul dari perubahan besar yang terjadi di BNI memang harus diterima dan dikelola dengan baik sebagai bagian dari perubahan paradigma.

"Dari awal kita telah melakukan sosialisasi, kita jelaskan bahwa kita akan mengganti sistem termasuk sistem HR karena secara keseluruhan sistem perbankannya juga berubah, mengikuti perkembangan HR yang makin strategis," ujar dia.

Selain sosialisasi dari awal, perusahaan juga memberikan stimulus-stimulus untuk mensukseskan program perubahan yang dilakukan. "Misalnya, kita ada program Learner Award untuk pegawai yang aktif melakukan pembelajaran melalui e-learning. Award tersebut berupa insentif sejumlah rupiah tertentu bagi yang telah menyelesaikan courseware, hadiah laptop bagi best performers hingga training ke luar negeri," papar Sumarno.

Toh, dengan semua upaya tersebut, tantangan selalu ada. Kuncinya, baik Lies Purwani maupun Sumarno sepakat, program-program tersebut harus selaras dengan strategi bisnis dan komitmen dari line dan top management. Dan, yang penting, semua itu harus terintegrasi. "Sejauh ini kita boleh dibilang sukses karena memiliki HRIS yang mendukung," ujar Sumarno.

Menurut Lies, beberapa inisiatif sudah menunjukkan hasil, misalnya produktivitas karyawan meningkat. "Diharapkan, dengan adanya perubahan sistem dan paradigma ini, karyawan bisa semakin engange, dan itu artinya tidak hanya senang kerja di sini, tapi terus mencari cara-cara baru untuk meningkatkan kinerja perusahaan."

Sedangkan, untuk penghematan tadi, Lies yakin akan terus berlanjut meskipun angkanya belum tentu sama besar dengan yang dicapai saat ini. "Ini baru (tahun) pertama, dan kebetulan memang sedang banyak-banyaknya pelatihan," ujar Lies.

E-LEARNING DIANGGAP MEMBOSANKAN

Meskipun 9 dari 10 karyawan level manajer saat ini memiliki akses terhadap internet, tapi pada kenyataannya mereka masih malas untuk memanfaatkan fasilitas teknologi tersebut sebagai sarana pembelajaran. Jadi, apa kabar e-learning?

Chartered Management Institute (CMI) dan? Centre for Applied Human Resource Research, Inggris mensurvei hampir 1000 orang manajer dan 12 pemimpin perusahaan besar dan menemukan, prediksi bahwa online learning akan menggantikan ruang kelas belum sepenuhnya terbukti secara menggembirakan.

Menurut survei, hanya separo manajer yang telah memanfaatkan sumber-sumber daya online untuk memecahkan permasalahan, dan hanya satu dari 5 yang membuka program e-learning yang terstruktur.

Kendati demikian, survei melihat, secara umum para manajer memiliki keinginan untuk belajar dan menyadari bahwa internet merupakan sarana untuk itu. Hampir 6 dari 10 melihat online learning sebagai sumber daya yang sangat ampuh untuk pendidikan, yang bisa dimanfaatkan setiap saat.

Sepertiga mengaku lebih melihat sumber-sumber daya online sebagai penyedia referensi yang setia, dan satu dari 4 telah menyadari efektivitasnya dalam segi biaya. Namun, semua itu tidak menjamin bahwa para manajer kemudian mencoba dan memanfaatkannya untuk belajar sesuatu.

Hampir separo merasa, penolakan terhadap e-learning disebabkan karena fasilitas online tersebut "menghilangkan sentuhan kemanusiaan". Dan, hampir tiga perempat lebih menyukai dialog tatap muka langsung dan lebih dari sepertiga menyatakan, pembelajaran dengan bimbingan tutor lebih efektif.

Bagi separo responden, rasa bosan merupakan hambatan terbesar dan seperlima berpendapat bahwa konten yang mereka temukan dalam materi online gagal untuk "mengikat" dan menarik mereka. Tiga dari 10 mengaku kurang termotivasi untuk menyelesaikan pelajar-pelajaran online tersebut, dengan 17% beralasan "kurangnya support".

Direktur Marketing dan Corporate Affairs CMI Jo Causon mengatakan, terdapat keuntungan-keuntungan bisnis yang nyata dari pemanfaatan model-model e-learning sejauh organisasi juga menyediakan alat dan dukungan pengembangan untuk menyertainya. "Intinya, perlu perencanaan yang matang dalam mempraktikkan online learning dengan mempertimbangkan audiens," ujar Causon.

Diingatkan juga, sebaiknya tidak menggantungkan seluruh proses pembelajaran pada online melainkan perusahaan tetap perlu memanfaatkan sumber daya lain dari program pengembangan tradisional.

E-LEARNING DIANGGAP TIDAK EFEKTIF, TAPI SEMAKIN POPULER

Dalam dunia pelatihan, praktik e-learning atau proses pembelajaran dengan sarana teknologi internet semakin hari kian diminati oleh perusahaan-perusahaan yang memiliki karyawan dalam jumlah besar. Namun, di mata para praktisi training sendiri, praktik tersebut ternyata masih dianggap tidak efektif.

Demikian kesimpulan yang bisa ditarik dari hasil survei yang dilakukan oleh Chartered Institute of Personnel and Development (CIPD) tentang pelatihan dan pengembangan. Survei melibatkan 700 orang petinggi bisnis sebagai responden.

Menurut hasil survei tersebut, hanya 7% kalangan bisnis yang menyebut e-learning sebagai satu dari tiga metode paling efektif dalam praktik pelatihan karyawan.

Responden yang semuanya telah mempraktikkan e-learning tersebut mengaku, sarana tersebut rata-rata telah tersedia bagi 60% karyawan, namun hanya separinya saja yang memanfaatkannya. Dan, dari jumlah itu, hanya 30% saja yang menyelesaikan pelatihannya.

Menariknya, meskipun menganggap tidak cukup efektif, namun 29% responden memprediksi bahwa dalam tiga tahun ke depan e-learning akan semakin populer. Setidaknya, 25-50% dari praktik training diyakini akan dilaksanakan lewat e-learning.

Adapun mengenai efektivitas tadi, 95% setuju bahwa e-learning akan lebih efektif jika dikombinasikan dengan metode-metode pembelajaran lainnya. Di samping itu, 92% setuju bahwa praktik e-learning menuntut sikap yang baru dari para karyawan.

Penasihat bidang pelatihan dan pengembangan pada CIPD Martyn Sloman mengatakan, "Kita masih butuh waktu yang panjang unuk mewujudkan e-learning secara efektif dalam organisasi. Survei kami memperlihatkan bahwa praktik ini memang belum sepenuhnya diapresiasi baik oleh karyawan maupun manajer pelatihan."

"Kita harus berusaha lebih keras untuk mengintegrasikan e-learning ke dalam sarana pembelajaran dan aktivitas-aktivitas pendukung kinerja. Organisasi-organisasi yang bagus tengah melakukan itu tapi banyak yang hanya membuat e-learning sekedar tersedia di komputer tiap karyawannya," tambah dia.

Sloman mengingatkan, e-learning adalah tentang proses belajar dan bukan semata-mata teknologi. Sehingga perusahaan tidak bisa hanya sekedar menyediakan fasilitasnya lalu berharap sesuatu akan terjadi dengan sendirinya, sebagai hasilnya.

MENGUAK TABIR MIMPI SANG CEO

Alkisah pada suatu hari Pharaoh, Sang Raja dari Mesir, punya mimpi. Ia berdiri di tepi sungai Nil dan :

Tampaklah dari sungai Nil itu keluar tujuh ekor lembu yang indah bangunnya dan gemuk badannya; lalu memakan rumput yang ditepi sungai itu. Kemudian tampaklah tujuh ekor lembu yang lain; kulit pemalut tulang, yang keluar dari dalam sungai Nil itu buruk bangunnya dan kurus badannya, lalu berdiri disamping lembu-lembu yang tadi, ditepi sungai itu. Tidak pernah kulihat yang seburuk itu di seluruh tanah Mesir. Lembu yang kurus dan buruk itu memakan ketujuh ekor lembu gemuk yang mula-mula. Lembu-lembu itu masuk kedalam perutnya, tetapi walaupun telah masuk kedalam perutnya, tidaklah kelihatan sedikitpun tandanya; bangunnya tetap sama buruknya seperti semula.

Tampak timbul satu tangkai tujuh bulir gandum yang bernas dan baik tetapi kemudian tampaklah juga tujuh bulir gandum yang kurus dan layu oleh angin timur. Bulir yang kurus menelan ketujuh bulir yang bernas dan berisi tadi. Bulir yang kurus itu memakan ketujuh bulir yang baik tadi.

Pada waktu pagi gelisahlah hatinya, lalu disuruhnya memanggil semua ahli dan semua orang berilmu di Mesir. Pharaoh menceritakan mimpinya kepada mereka, tetapi seorangpun tidak ada yang dapat mengartikan kepadanya.

Muncullah Joseph, sang sering disebut sebagai the Dreamer, oleh sanak saudaranya karena ia senang menceritakan mimpinya pada mereka. Bahkan karena mimpinya yang menurut keluarganya diluar kepantasan, ia dibuang jauh dan menjadi budak.

Joseph, dipanggil oleh juru minuman raja yang pernah merasakan ketepatan singkapan mimpinya. Pharaoh bertanya arti mimpi itu pada sang pemimpi, Joseph. Iapun bertutur lancar seperti ia sudah mengerti akan masa depan.

Kedua mimpi tuanku itu sama. Ketujuh lembu yang baik adalah tujuh tahun, dan ketujuh bulir gandum yang baik ialah tujuh tahun juga. Ketujuh ekor lembu yang kurus dan buruk yang keluar kemudian maksudnya tujuh tahun, demikian pula ketujuh bulir gandum yang hampa dan layu oleh angin timur itu, maksudnya akan ada tujuh tahun kelaparan. Ketahuilah tuanku akan ada tujuh tahun kelimpahan di seluruh tanah Mesir. Kemudian akan timbul tujuh tahun kelaparan, maka akan dilupakan segala kelimpahan itu di tanah Mesir. Karena kelaparan itu menguruskeringkan negeri ini. Sesudah itu akan tidak kelihatan lagi bekas-bekas kelimpahan di negeri ini karena kelaparan itu, sebab sangat hebatnya kelaparan itu. Oleh sebab itu, baiklah tuanku Pharaoh mencari seorang yang berakal budi dan bijaksana, dan mengangkatnya menjadi kuasa atas tanah Mesir. Baiklah tuanku Pharaoh berbuat begini, yakni menempatkan penilik penilik atas negeri ini dan dalam ketujuh tahun kelimpahan itu memungut seperlima dari hasil tanah mesir. Mereka harus mengumpulkan segala bahan makanan dalam tahun tahun baik yang akan datang ini dan, dibawah kuasa tuanku Pharaoh, menimbun gandum di kota-kota sebagai bahan makanan, serta menyimpannya. Demikianlah segala bahan makanan itu menjadi persediaan untuk negeri ini dalam ketujuh tahun kelaparan yang akan terjadi di Mesir, supaya negeri ini jangan binasa karena kelaparan itu.

Usul itu dipandang baik oleh Pharaoh dan semua pegawainya. Lalu berkatalah Pharaoh kepada pegawainya, “Mungkinkah kita mendapatkan orang seperti ini, seorang yang penuh hikmat ?" Kata Pharaoh kepada Joseph, “ Tidaklah ada orang yang demikian berakal budi seperti engkau. Engkaulah menjadi kuasa atas istanaku, dan kepada perintahmu seluruh rakyatku akan taat, hanya takhta inilah kelebihanku daripadamu."

Kisah ini ditutup dengan kejadian seperti yang diramalkan Joseph dan Mesir dapat keluar dari krisis pangan. Bahkan mampu menjadi gudang penyangga bagi daerah sekitar.
Kisah ini bagi saya menarik sekali dan banyak ‘insight’ yang bisa diperoleh darinya. Pharaoh adalah gambaran CEO yang memang senang bermimpi. Bermimpi tentang masa depan adalah tugas CEO yang tak mungkin didelegasikan kepada bawahannya. Mimpi CEO lah yang akan membawa kemajuan perusahaan dalam jangka panjang. CEO yang tak mampu bermimpi adalah CEO yang sekedar pemimpin tanpa pernah menjadi Leader yang baik. Tanpa mimpi, CEO hanya akan meneruskan perjalanan dengan cara yang sama dilakukan pendahulu.

Masalah mulai timbul tatkala CEO tak mendapatkan ‘partner’ yang sepadan yang mampu mengartikulasi dan mengartikan mimpinya dalam tatanan strategis. Mimpi yang indah akan kehilangan makna tanpa penjabaran yang jelas dimengerti oleh seluruh jajaran. Mimpi yang indah tak akan membawa maslahat tanpa perencaaan operasional untuk mewujudkannya.
Disinilah peran CHR dan team HRD yang sangat dibutuhkan oleh para CEO. Mitra yang mampu menjembatani tatanan mimpi yang sangat abstrak dan virtual menjadi rencana jangka panjang dan pendek yang visual dan membumi. Misi, Visi dan Rencana Jangka Panjang tidak akan dimengerti oleh jajaran karyawan kalau tidak berhasil diartikulasikan dan dijabarkan oleh CHR.

Kalau anda memiliki kemampuan ini, maka anda adalah andalan CEO. Mitra yang mampu menorehkan garis jelas diantara garis titik dan terputus dalam gambaran mimpi sang CEO.
Kenyataannya banyak CHR dan orang HRD yang berasyik ria dengan mimpinya sendiri. Berkutat dengan jargon dan konsep yang sama tapi berbeda tampakkan luar. Dalam kesendirian berhalusinasi dan imajinasi soal menjadi ‘business partner’ atau ‘strategic partner’ tanpa pernah mampu menguak tabir mimpi sang CEO.

Pertanyaannya adalah : Apakah anda mengerti mimpi CEO anda ? Apakah anda mampu mengartikulasi dan mengartikannya dalam tatanan strategis ? Mampukah anda menyusun program pelaksanaannya ? Kalau ya, ada memang pantas menjadi Joseph. Raja muda dan orang kedua dari raja. Kalau tidak, tinggalkan mimpi anda. Pelajarilah mimpi CEO anda. Mulailah berimajinasi mimpi CEO. Hanya soal waktu anda akan seperti dia.

Oleh : Paulus Bambang W.S.
Vice President Director PT United Tractors Tbk.Pengarang Buku (Best Seller): “Built to Bless. The 10 Commandments to transform your Visionary Company – Built to last – to a Spiritual Legacy”

CHIEF HUMAN RESOURCES (CHR)

Sebagai sesama pimpinan berawalan C, artinya setara dengan Chief lain seperti CMO, CIO dan CFO, maka bidang Human Resources ini sedang mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk menjadi C dengan Capital C, Bold dan Italic. Artinya, secara kesempatan sedang berada pada angin buritan, tinggal bagaimana mampu ‘riding the waves’.

Pasalnya, saat ini C yang tertinggi alias Chairman, CEO atau COO sedang berada pada ‘ketakutan’ yang ‘membahagiakan’. Bisnis yang sedang berada pada siklus ‘Up trend’, menanjak dan belum menunjukkan dampak resesi akibat sub prime mortgage USA, membuat kengerian sendiri bagi para Top C.

Swa edisi 4, 2008 membahas tuntas sepuluh permasalahan yang dianggap sebagai persoalan utama oleh para CEO adalah :

1. Managing Change (67.39 %)
2. Develop Leader (56.52 5)
3. Sustaining Business Growth (56,52 %)
4. SDM dan Kompetensi – managing people (45.65 %)
5. Transformasi Bisnis (39.13 %)
6. Ekspansi Bisnis (36.96 %)
7. Kompetisi Global (30.43 %)
8. Kompetisi Lokal (28.26 %)
9. Budaya Kerja (13.04 %)
10. Peraturan Pemerintah dan ketidakpastian hukum (10.87 %)

Perhatikan ‘The 10 Challenges dan Pain’ yang sedang dihadapi oleh Top C Class. Their Pain is CHR Gain, if you can help them to resolve it. Dua masalah paling utama justru bukan soal gonjang ganjing peraturan dan kepastian hukum yang sering kita dengar celotehan mereka di media massa, tapi kejujuran yang berasal dari hati mengatakan bahwa HR adalah the source of their fear. HR adalah daya dorong dan akselerator atau penghambat bagi pertumbuhan bisnis dan pertumbuhan pangkat para top C itu sendiri.

Perhatikan pula, bagaimana ke 46 CEO hasil riset SWA ini berupaya menanggulangi mimpi buruk mereka menyuarakan ‘The 10 solutions Needed by CEO’ :

1. Memaksimalkan ‘training dan develoment’ untuk meningkatkan kompetensi, kualitas, produktivitas, dan kreativitas (73.91 %)

2. Melakukan change management, menyiapkan change journey dan user ownership terhadap perubahan yang ada (39.13 %)

3. Melakukan inovasi dan efisiensi di bidang produksi, distribusi, dan pemasaran (28.26 %)

4. Mengembangkan pool of talents (26.09 %)

5. Menyeimbangkan ekspansi pada bisnis inti, juga mendiversifikasi usaha agar resiko tersebar di banyak tempat (26.09 %)

6. Membangun team capability dan membuat terobosan bisnis (21.74 %)

7. Menggenjot keunggulan kompetitif dan mengontrol biaya (15.22 %)

8. Membuat jejaring yang ekstensif dengan komunitas bisnis (15.22 %)

9. Meningkatkan peluang untuk terjadinya aliansi strategis dan kerjasama bisnis (10.87 %)

10. Menciptakan ‘super leader’ disetiap level manajemen (10.87 %)

Dari 10 pil yang dipikirkan menjadi kebutuhan para CEO tadi, ternyata dua peringkat teratas juga merupakan keahlian, kompetensi dan kemampuan para praktisi HR. Ini adalah peluang untuk menjadi mitra yang bukan hanya mampu mengibati tapi juga mampu menciptakan sinergi untuk membuat kesehatan organisasi menjadi jauh lebih prima dari sebelumnya.

It’s a SHOW TIME !!!!!!

Justru ditengah bisnis yang sedang menanjak, CEO semakin membutuhkan peran CHR. Bukan pada saat bisnis turun saja ketika CEO banyak berdialog dengan CHR soal merumahkan dan mem PHK. Diskusi hanya seputar pesangon dan uang jasa yang menyakitkan hati. Saat senang inilah, CHR sangat dibutuhkan oleh para CEO.

It’s a Show Time NOW !!!!

Sebagai Change Specalist dan Change Master, saatnya CHR unjuk gigi dalam membuat Change Destiny yang dibutuhkan. CHR harus mampu merumuskan Change Destiny bukan hanya Change Journey maupun Change Management.

Ketika perubahan sudah menjadi kebutuhan para CEO, maka CHR harus mengambil peran terdepan untuk membuat perubahan ini menjadi aktivitas untuk merubah wajah organisasi secara keseluruhan dan fundamental. Bukan hanya berkutat soal cara, how do we get there, tapi bahkan mencakup soal apa yang harus diubah, where are we going to go.

Artinya, dalam bahasa sederhana, CHR tidak sekedar fasilitator diskusi antar para C untuk merumuskan Misi, Visi, Guideline, Objectives dan Priority Measures tapi CHR adalah konseptor. Penguak tabir mimpi CEO yang mampu membuatnya ‘implementable’ di lapangan. From Conception to Consumption atau from Womb to Tomb harus ditengarai dengan seksama oleh para CHR.

Sayangnya kesempatan itu tidak bisa ditunda. You have to act NOW. Tomorrow may not be your day. Jangan pernah tunda. Saatnya datang ke Board Room dengan ‘Change Destiny’ dan ‘Leader Development ‘framework. War of Talents dan War of Change akan didengungkan dengan konsep yang sudah anda susun. Kalau ini terjadi, anda sedang merenda karir yang lebih menantang dan memberi nilai tambah yang menghasilkan ‘great legacy’ yang ‘no one can steal it from you’. You are a history maker not just history writer or history teller of your company. You are the one who can make their problems solved.It’s your show time, partner.

Oleh : Paulus Bambang W.S.
Vice President Director PT United Tractors Tbk.Pengarang Buku (Best Seller): “Built to Bless. The 10 Commandments to transform your Visionary Company – Built to last – to a Spiritual Legacy”

HRD IS A GUARDIAN

Sudah sering kita bicara soal budaya perusahaan. Dalam bahasa keren sering disebut Corporate Culture, sehingga ada konsultan yang bergelar Corporate Culturist. Menariknya lagi, hampir seluruh ahli yang bergerak dalam Corporate Culture selalu memulai survey dari top management. Merumuskan kata-kata sakti dan indah dalam bahasa yang amat canggih. Didiskusikan di Board Room lalu dituangkan dalam bentuk buku yang cantik, lalu dilakukankan program LAUNCHING secara besar-besaran.

Diikuti dengan pelatihan atau komunikasi massal untuk seluruh karyawan. Presentatornya siapa lagi kalau bukan bagian HRD atau bagian Training. Dianggap ahli dalam melucu dan membuat konsep ini mudah dipahami. Setelah satu siklus selesai, top management dapat tersenyum bersama para konsultan di kantor puncak, “kita sudah memiliki corporate culture”. Acara Sign Off dengan konsultan dilakukan, lalu pembayaran akhir honor diselesaikan. “Good bye, Sayonara”, sang konsultan pergi dengan lambaian tangan penuh rasa terima kasih. Budaya baru ‘sudah’ terjadi.

Yang lebih luar biasa, ketika diundang seminar soal budaya perusahaan, bos HRD dengan bangga menceritakan soal budaya baru yang baru setahun diluncurkan. Disertai contoh video saat pelatihan, terlihat karyawan asyik dan senang mengikuti program sosialisasi. Lalu diterangkan program kebijakan HRD untuk mendukung budaya ini merasuk ke sanubari seluruh karyawan. Potret karyawan dari manajer pabrik sampai satpam dan supir ditayangkan. Semua menikmati kesegaran pelatihan, apalagi dilakukan di resort yang indah. “Belum pernah kami mengalami pelatihan seperti ini. Dua hari di resort yang membuka mata hati kami”. Lalu dengan senyum bangga, sang HRD menutup presentasinya dengan kalimat “Kami sudah memiliki budaya baru”.

Definisi textbook Corporate Culture adalah “the way we do things around here”. Simple tapi very basic. Artinya, kultur atau budaya itu bukan ‘the word we write around here’ atau ‘the presentation we make around here’ atau ‘the message we put in the wall around here’ atau bahkan ‘the standard operating procedure and manual of corporate culture we write around here’. Kultur adalah ‘the way we DO’. Apa yang dikerjakan oleh top management di kamar yang tak terlihat, di bagian yang tak mudah di akses oleh bidang lain atau yang dikerjakan satpam dan supir di ruang tunggu yang pengap di pojokan.

Kalau mau jujur, yang dilakukan banyak perusahaan adalah pembohongan diri sendiri atas nama kultur. Pimpinan menggunakan kalimat-kalimat sakti untuk dilakukan oleh bawahan tapi ia sendiri tak melakukannya. “Do what I say but don’t do what I do”. Budaya perusahaan adalah budaya untuk kalangan bawah. HRD adalah aktor untuk mengubah bawahan tanpa bisa menyentuh kalangan atas. Sibuk luar biasa tapi tak menyentuh substansi.

Acapkali mereka mengeluh, karena tahu “this not the way we should do”. “We should start from the top”, kata bijak dari konsultan yang sering diingatnya tapi tak mampu dilakukannya. Start from the top artinya presentasi selama 30 menit di rapat BOD. “Yang penting konsepnya, tidak perlu terlalu detail”, begitu pesan corporate secretary ketika tim HRD ingin menfinalisasi hasil kerjanya.

Itu sebabnya, rumusan indah yang tertera dalam Corporate Philosophy sebagai dasar dari pembentukan Corporate Culture tidak menjadi bagian dari pimpinan walaupun semua unsur pimpinan membubuhkan tanda tangan. Tanda tangan artinya saya menyetujui dengan akal bukan tanda hati apalagi tanda iman. Makanya plakat jenis begini hanya bagus untuk hiasan di ruang rapat dan bahan presentasi pamer diri di kongres HRD.

Apa HRD mau exist dalam kondisi yang begitu ? Coba lakukan audit implementasi, apakah nilai-nilai yang tertera pada corporate philosophy itu masih dilakukan atau memang tidak pernah dilakukan sejak awal diluncurkan.Misalnya, kalau salah satu kata kunci dalam pembentukan nilai-nilai dalam falsafah perusahaan itu adalah INTEGRITAS atau KEJUJURAN, lalu anda tahu perusahaan ini memiliki buku lima : buat pajak, bank, manajemen internal, owner dan istri owner, apa yang anda akan perbuat ? Atau kalau ada pembukuan ganda yang bahkan didukung oleh ERP canggih, HRD masih berani melatih soal Kejujuran dan Integritas ? Untuk siapa nilai-nilai tersebut ?

Apalagi kalau pedoman buku falsafah perusahaan berbunyi ...” kejujuran artinya karyawan tidak memberikan suap atau menerima suap .......”. Pedoman yang tidak berimbang dan tidak tepat sasaran. Integritas adalah nilai untuk pimpinan dari puncak sampai menengah. Kalau misalnya masih ada pembukuan ganda, serapi apapun ia, lebih dahsyat lagi kalau sampai orang HRD tidak tahu bahwa perusahaannya memiliki pembukuan ganda, sebaiknya nilai ini dicabut saja. Ini agar konsisten antara kata dan perbuatan.

Bagi saya, ini bukan masalah budaya tapi masalah moralitas. Moralitas perusahaan haruslah diatas budaya. Kalau moralitas perusahaan masih amburadul, jangan bicara soal kultur integritas. Ganti aja dengan budaya TEAM WORK, artinya kerjasama antara perusahaan dengan orang pajak untuk bersama-sama menggelapkan pajak. Kerjasama dengan Account Officer bank untuk menggelembungkan proyek agar dapat mendapat uang lebih yang dibagi bersama. Itu baru team work ????

HRD harus berani menjadi moral guardian. Berkata tidak untuk sesuatu praktek hitam dan berkata ya untuk mempertahankan praktek putih. Itu yang saya butuhkan sebagai partner. Ada tanggapan ?

Oleh : Paulus Bambang W.S.
Vice President Director PT United Tractors Tbk.Pengarang Buku (Best Seller): “Built to Bless. The 10 Commandments to transform your Visionary Company – Built to last – to a Spiritual Legacy”

SIKAP KEPEMIMPINAN HR MENGHADAPI KRISIS (3)

Pihak kedua yang yang harus menjadi target operasi CHR dalam menghadapi krisis adalah karyawan. Karyawan adalah aktor vital dalam manajemen krisis. Krisis tak dapat ditangkal tanpa karyawan. Tidak hanya pasukan elite yang sanggup melawan tapi seluruh karyawan. Tanpa kesatuan antara karyawan dan manajemen, maka seluruh enerji mereka akan habis untuk dialog dan ‘pertempuran’ antar mereka sendiri padahal musuh krisis di depan tak bisa menunggu lagi.

Untuk membuat karyawan terlibat aktif, CHR harus mampu menerangkan secara jujur dan terbuka seluruh kondisi perusahaan. Tanpa perlu ‘make up’ dan kata-kata penuh puisi. Yang penting isi dan substansi. Tanpa ancaman dan bekal serangkaian regulasi yang menguatkan posisi masing-masing.

Ketika semua berunding tanpa senjata, maka jalan damai akan didapatkan. Ketika senjata dengan isi penuh dipakai, maka perundingan hanya akan berakibat situasi, win-lose. Akibatnya, ada hati yang terluka.

Agar karyawan mengerti bahwa ‘we are not in normal time, we are in crisis. We can not do business as usual’, maka komunikasi harus dijalankan dengan transparan. Paradigma tentang karyawan dengan seluruh kelompoknya, termasuk serikat pekerja, harus bernuansa positif.
Sepuluh prinsip dasar ini harus diyakini :

1. Karyawan adalah ‘Human’ bukan sekedar ‘Resources’ yang mudah memahami kondisi perusahaan bila mereka ikut dilibatkan.

2. Mereka memiliki nurani yang mampu menangkap sinyal ketegangan para pemimpin mereka.

3. Mereka bukanlah manusia penuntut yang tak mau tahu kondisi perusahaan.

4. Mereka punya nalar dan akal sehat ketika diperlakukan sebagai manusia dewasa.

5. Mereka adalah ‘Resource’ yang paling feksible menyesuaikan diri terhadap krisis jauh melebihi resources lain.

6. Mereka memiliki potensi yang tak terbayangkan ketika terhimpit. Acapkali ide brilliant muncul ketika muncul bahaya ‘kepepet’.

7. Mereka adalah resources yang bisa dipercaya memberikan lebih dari apa yang diharapkan dan berkontribusi melebihi tuntutan yang ada dalam job description

8. Mereka mampu berkorban hanya karena sebuah visi dan belief yang secara nalar kadang sulit dimengerti.

9. Mereka bisa membedakan mana komunikasi yang memanipulasi dan mana yang secara jujur terbuka dilakukan.

10. Mereka punya waktu tenggang yang tak terbatas bila keterbukaan dan kesungguhan mereka rasakan

Perusahaan yang mampu mengayomi seluruh kepentingan karyawan dengan jujur akan mendapat dukungan secara serentak, tanpa dikomandoi, bahkan dalam berbagai hal termasuk melibatkan seluruh keluarga mereka.

Sebaliknya karyawan bisa berubah menjadi resources yang sangat kejam dan bengis ketika melihat eksekutifnya tidak mengenal krisis atau bahkan menggunakan krisis untuk kepentingan pribadinya. Ditambah lagi ada susupan pihak luar yang ingin mengadu domba karyawan dan manajemen yang seharusnya satu perahu. Pihak luar tidak senang kalau ada persatuan. Persatuan membuat mereka tak mampu bergerak. Persatuan membuat intruder mati kutu. Ini yang harus dijaga oleh kedua belah pihak.

Tapi kalau salah satu pihak sudah menunjukkan gejala yang tak tanggap krisis, baik karyawan maupun eksekutif, maka hasilnya bisa ruyam. Karyawan tak mau tahu yang penting gaji, tunjangan dan seluruh fasilitas ‘as usual’ dan eksekutif masih berlaku seperti ‘as usual’, maka akan terjadi kesalahpahaman. Perundingan untuk menyelematan perusahaan menjadi perundingan untuk menyelamatkan diri masing-masing. Kalau sudah begini, kebangkrutan adalah opsi yang secara tak sadar mereka pilih sendiri. Kapal yang seharusnya selamat, harus karam hanya karena keduanya ingin memetik keuntungan bagi pihak masing-masing.Misalnya berita dibawah ini yang saya kutip dari Kompas, minggu 23 November 2008 dengan judul yang agak provokatif “ GM “berniat” Bangkrut. Menunjukkan ketidak pekaan eksekutif terhadap krisis walaupun dalam bantahannya mereka mengatakan mereka sudah berminat menjual jet pribadi sebelum bertemu Konggres. Masalahnya adalah mereka tetap menggunakan jet hanya dengan berbagai alasan yang dalam kondisi biasa adalah hal yang lumrah.

“Pihak Kongres mengecam parta pemimpin industri otomotof AS yang datang dengan jet mewah ke Washington DC guna memohon dana talangan. CEO GM Rick Wagoner dikecam keras karena ingin mendapatkan uang rakyat, tetapi tak mengorbankan kenikmatan pribadinya untuk semua itu. Kecaman juga diarahkan kepada pimpinan Ford, Alan Mulally, dan Robert Nardelli dari Chrysler LLC, yang juga datang ke Konggres menggunakan jet pribadi. Mereka dinilai tidak memiliki kepekaan krisis saat hendak meminta dana talangan yang sebenarnya merupaka uang rakyat”.

CHR haruslah menjadi ‘devil advocate’ bagi pihak yang kurang peka akan krisis. Menjadi tugas yang amat berat, ketika CHR harus berada di tengah, diantara kerumunan serigala dan tukang jagal. Tapi menjadi tugas yang ringan, ketika CHR berada di kawanan domba dan Gembala. Nah, ini tantangannya, bagaimana membuat karyawan tetap sebagai domba di krisis yang sulit ini dan tetap membuat eksekutif sebagai Gembala yang baik.
Simak dalam Reflection Dinner ...... sub judul ... berada ditengah domba dan gembala atau serigala dan tukang jagal ......

Oleh : Paulus Bambang W.S.
Vice President Director PT United Tractors Tbk.Pengarang Buku (Best Seller): “Built to Bless. The 10 Commandments to transform your Visionary Company – Built to last – to a Spiritual Legacy”

SIKAP KEPEMIMPINAN HR MENGHADAPI KRISIS (2)

Yang paling ‘fragile’ dalam keadaan krisis sebenarnya bukan karyawan yang paling bawah tapi CEO dan jajaran direksi yang posisinya terbatas pada jangka waktu tertentu. Makin di atas makin besar goncangannya. Makin dipucuk makin berat kemampuannya bertahan baik secara intelektual, emosional dan spiritual. Ini yang harus disadari oleh CHR. Mereka adalah target operasi yang harus dijadikan prioritas agar tidak kalut sehingga mengambil keputusan yang membabi buta.

Kondisi di atas yang cepat diterpa badai dan paling dahsyat terkena petir ini membuat banyak CEO langsung melakukan reaksi yang sebenarnya konyol hanya untuk menunjukkan bahwa ia memiliki ‘sense of urgency’.

Yang paling cepat dan paling mudah dilakukan adalah pengurangan karyawan. Pemikirannya sangat sederhana, bila karyawan dikurangi maka ongkos operasi bisa ditekan, bila ongkosnya sudah turun maka profitabilitas bisa dijaga. Pemikiran naif yang tak pantas dilakukan oleh eksekutif yang menerapkan ‘built to bless’. Karyawan bukanlah sumber daya pertama yang harus dikorbankan, karyawan seharusnya menjadi yang amat sangat dan paling terakhir dilakukan pengurangan setelah semua upaya normal dijalankan.

Ingat, karyawan adalah HUMAN RESOURCES. Artinya bukan sekedar RESOURCES tapi juga HUMAN.

Dalam keadaan krisis, tatkala penjualan perusahaan turun, produksi turun, karyawan kecillah yang menderita. Pendapatan mereka berkurang banyak karena lembur tiada lagi, insentif produksi menghilang namun pengeluaran rumah tangga mereka meningkat.

Gelombang PHK yang terjadi di belahan barat, bukanlah contoh yang pantas untuk dijadikan ‘best practices’. Sebuah sistim yang menganggap karyawan sebagai resources yang tidak ‘in line’ dengan hubungan industrial Pancasila.

Salah satu CEO yang mampu menyikapi hal ini dengan Human Spirit yang kuat adalah Chua Sock Koong, pimpinan Singtel. Naluri keibuannya membuat ia berani berujar :

“The current global financial crisis is unprecendented. A slowdown of the growth of the group’s businesses is expected. Singtel profit falls 12 % on overseas investments. The company will look to cut costs and has implemented a hiring freeze but isn’t looking to reduce headcount at this time’. As a business we continue to review operating efficiencies .... there could be redeployment of headcount across different businesses, staff cuts will be something we see as a last resort’.

Sikap terhadap krisis dari CEO harus mencerminkan sikap krisis dari CHR dalam hal mempertahankan ‘human spirit’. Kegagalan CHR menjadi ‘crisis team’ dari CEO adalah kegagalan fatal yang akan berakibat pada kondisi karyawan secara keseluruhan.

CHR harus mampu memberikan solusi strategis agar langkah praktis seperti pemotongan gaji dan pengurangan tidak serta merta dilakukan. Frekuensi pertemuan dengan CEO harus ditingkatkan. CHR jangan sibuk dan menyibukkan sendiri dengan program penghematan agar dianggap tanggap terhadap krisis. Tapi CHR justru harus tanggap terhadap spirit seluruh karyawan untuk bertahan dan menang dalam krisis. Dan inilah yang sebenarnya dibutuhkan CEO, sebuah saran yang fundamental dan tidak menimbulkan masalah hubungan industrial.

Sepuluh langkah yang harus dilakukan CHR dalam krisis agar bisa menjadi ‘trusted partner’ bagi CEO dibandingkan team manajemen yang lain adalah :

1. Membedah akar krisis yang menghimpit perusahaan dengan angka di atas angka finansial. Mengerti akar permasalahan teknis dengan meminta bantuan team operasional.

2. Ikut aktif dalam mengusulkan langkah penyelamatan jangka pendek, medium dan panjang yang memperhatikan aspek moral karyawan secara keseluruhan. Bersikap optimis dan tidak terjerembab pada pesimisme sesaat. Andalah yang ‘set the tone’ of the company.

3. Mengusulkan team penyelamatan krisis dengan alokasi SDM yang paling baik. Justru di krisis inilah pengembangan karyawan yang sesungguhnya bisa terjadi. Test terhadap karyawan yang potensial bisa diamati secara jelas. Gunakan krisis yang ada justru untuk menemukan mutiara.

4. Buatlah team yang cross functional dan cross business untuk melakuan inovasi baru agar mampu melakukan lompatan ketika krisis sudah berlalu. Persiapan terhadap ‘upturn’ harus dilakukan.

5. Komunikasi rutin dengan CEO agar mengerti kondisi hati CEO serta mampu memberikan ‘brutal facts’ yang jujur dan transparan.

6. Menjalin komunikasi yang efektif dengan serikat pekerja agar terjadi kesamaan pandang dan menghindari distorsi akibat rumor yang tidak bertangung jawab. Mereka adalah mitra perusahaan yang paling handal dan terpercaya.

7. Komunikasi secara terbuka dengan seluruh jajaran pimpinan menengah dan lapangan mengenai pengaruh krisis terhadap perusahaan. Kejujuran adalah kunci tanpa menutupi fakta. Sebaliknya tidak memperburuk keadaan dengan tujuan menekan karyawan

8. Menyarankan dan membimbing setiap pimpinan agar semakin erat dengan karyawan dan berkomunikasi secara heart to heart, agar semangat karyawan justru semakin meningkat

9. Memberi solusi pada karyawan untuk bersikap dalam krisis termasuk dan tak terbatas dalam hal sikap hidup sebagai pribadi.

10. Aktif dalam evaluasi bulanan, mingguan dan harian terhadap ‘crisis management’ dan ‘crisis action’ yang sudah disepakati. Jangan hanya jadi peserta tapi jadi aktor aktif yang menggerakkan irama efisiensi perusahaan.

Kalau CEO berhasil Anda ‘jinakkan’ dalam krisis ini, maka hantaman badai di perusahaan Anda tidak semakin besar karena diperbesar oleh kekalutan CEO Anda. You have to set the tone, taste and the tale of the company.

Oleh : Paulus Bambang W.S.
Vice President Director PT United Tractors Tbk.Pengarang Buku (Best Seller): “Built to Bless. The 10 Commandments to transform your Visionary Company – Built to last – to a Spiritual Legacy”

SIKAP KEPEMIMPINAN HR MENGHADAPI KRISIS (1)

Jumpa lagi dengan Anda setelah beberapa saat berdiam diri melihat reaksi para pembaca. Sekarang saya mau mulai lagi berinteraksi dengan Anda. Berbagi kiat dalam situasi yang penuh tantangan dan peluang seperti saat ini.

Tidak ada yang menduga bahwa perubahan terjadi demikian cepat. Kelihatan matahari sedang bersinar dengan teriknya, tiba-tiba datang topan angin yang dahsyat. Banyak yang sedang merenovasi perusahaan dan mengembangkan sayap dengan tingkat ekspansi yang belum pernah dilakukan setelah krisis 1997. Tiba-tiba, semua harus berhenti atau kalau tidak diperlambat. Dari injakan gas penuh langsung beralih dengan rem penuh. Kalau tidak hati-hati dan kompeten maka mobil akan berputar dan berbalik arah menghantam mobil lain yang juga dengan kecepatan tinggi di jalur yang sama.

Para CEO yang kalut dan panik, apalagi memikirkan bonus mendatang yang sudah kelihatan bersinar selama 9 bulan, berusaha menjaga agar 3 bulan tidak seperti nila yg merusak susu sebelanga.

Yang sangat pesimis langsung tekan rem sekuat-kuatnya hanya untuk melindungi hasil keuangan di rugi laba dan neraca tahun ini. Program pengetatan ikat pinggang langsung dicanangkan, seperti :

1. Pangkas semua biaya yang bisa dipangkas. Cost reduction bukan Cost management
2. Tunda semua investasi yang ada
3. Pengurangan fasilitas buat karyawan
4. Pengurangan karyawan secepatnya
5. Berbagai program lain untuk menyelamatkan angka-angka keuangan

Hasilnya dalam jangka pendek, misalnya akhir tahun 2008, akan sangat terasa. Angka metriks dan rasio keuangan bisa dikelola dengan baik. Persediaan terjaga dengan baik. Piutang mampu dikelola dengan prima. Siklus operasi terjaga bagus. Pokoknya, buku perusahaan tampil dengan baik walau krisis melanda.

Benarkah demikian ?

Ini yang menjadi pertanyaan yang harus dijawab bukan dengan menunjukkan angka keuangan dan hasil rugi laba yang diperoleh. Bisnis bukan sekedar angka tapi bagaimana angka itu terjadi.

Dan bagaimana pula implikasinya pada jangka menengah dan panjang ?

Kalau persediaan yang sedang dalam pesanan misalnya, berhasil diturunkan dengan pembatalan sepihak kepada pemasok. Tanpa mau dipenalti dengan berdalih pada krisis. Ditambah lagi, pembayaran atas pesanan yang sudah diterima dilakukan dengan waktu sekenanya, dengan kurs mata uang yang ditentukan sendiri dan diatur retur bagi barang yang kelihatannya tak mampu dijual dalam tahun takwin ini tanpa persetujuan lebih dulu. Memanfaatkan kekuatan untuk menekan dan berdalih krisis global.

Sebaliknya, bagi pelanggan mereka yang sudah membuat kontrak pembelian maka kontrak itu harus dipenuhi. Apapun caranya pelanggan dipaksa untuk berbisnis seperti kontrak. Tak mau tahu soal perbedaan kurs dan bunga bank yang meningkat serta proyek yang dibatalkan bowheer mereka. Pelanggan adalah pesakitan yang harus menerima nasib menerima barang sesuai pesanan. Jangankan bicara soal kepuasan pelanggan, keluhan pelanggan pun tidak diperhatikan. Pokoknya fokus pada kewajiban dan hak bukan soal kemitraan dan hubungan jangka panjang. Apalagi kalau pelanggan ini hanya pelanggan kelas teri dan sewaktu, penekanan sudah dalam batas teror.

Belum puas mampu menekan pemasok dan pelanggan, karyawan diancam dengan keras. Tak mau tahu target harus tetap dicapai, apapun caranya. Halal bukan ukuran. Pokoknya harus mencapai target. Pengeluaran harus diturunkan sampai batas minimal tapi target harus dicapai pada tingkat maksimal.

Yang paling mengerikan kalau mengkaitkan pencapaian target pendek tiga bulan ini dengan pemotongan bonus besar-besaran. Lebih ngeri lagi kalau genderang PHK mulai dikumandangkan.

Dalam jangka pendek, gaya premanisme seperti itu memang membuahkan hasil keuangan yang kelihatannya kuat. Tapi kalau mau jujur, pemimpin yang demikian itu mengorbankan masa depan hanya untuk memikirkan pencapaian hasil tahun ini. Mengorbankan eksistensi dan going concern perusahaan agar bonus dan kinerjanya tahun ini tetap terjaga.

Nah, disinilah peran Chief Human Resources (CHR) menjadi sangat vital agar gerakan yang kalut dan panik ini tidak terjadi. Bisnis bukan soal hasil jangka pendek. Bisnis adalah soal sustainability jangka panjang. Moral dan semangat karyawan, kemitraan dengan pelanggan serta hubungan baik dengan pemasok harus tetap diutamakan.

CHR tidak boleh menjadi tukang jagal yang mengeksekusi keinginan pimpinan untuk melakukan program yang merusak semangat karyawan dan merusak nilai-nilai dan falsafah perusahaan. Perusahaan akan lebih cepat karam kalau nilai-nilai yang selama ini dibangun dihancurkan hanya untuk mencapai hasil baik tahun ini.

CHR adalah bagian dari top management tapi juga bagian dari seluruh stakeholders termasuk karyawan, pemasok dan pelanggan. CHR penjaga nilai sakral etika bisnis yang baik. CHR harus berani say ‘NO’ dan dicatat dalam ‘dissenting opinion’, kalau dipaksa melakukan program yang merusak falsalah dan going concernnya perusahaan.

Agar tidak terjadi hal yg mengerikan ini, maka CHR harus secara proaktif menjadi ‘transition team atau 'crisis team’ di perusahaan sebagai CEO Partner untuk mengawaki kapal pada saat badai terjadi. CHR harus menjadi yang terdepan dalam mengartikulasikan krisis dan dampaknya bagi perusahaan, karyawan dan stakeholders lain. CHR harus paham apa arti krisis ini secara operasi dan keuangan. Selanjutnya bisa melakukan langkah-langkah strategis bersama CEO agar membuat seluruh karyawan bersatu padu, bahkan lebih erat, menjadi super team untuk bertahan melawan badai ini.

Lalu, bagaimana caranya ?

Oleh : Paulus Bambang W.S.
Vice President Director PT United Tractors Tbk.Pengarang Buku (Best Seller): “Built to Bless. The 10 Commandments to transform your Visionary Company – Built to last – to a Spiritual Legacy”

PRIBADI MENARIK & MENYENANGKAN

Semua orang ingin disebut menarik, menjadi pusat perhatian, terkenal dan dikagumi banyak orang. Menjadi menarik dan menyenangkan merupakan obsesi kebanyakan orang. Menarik dan menyenangkan mencakup aspek fisik (lahiriah) dan non-fisik (meliputi: emosional, personalitas dan integritas pribadi). Banyak orang yang cantik, tampan, pandai dan kaya namun belum dapat dikategorikan sebagai orang-orang yang menarik dan menyenangkan dikarenakan adanya sesuatu yang kurang dalam diri mereka.

Orang yang menarik dan menyenangkan membuat orang suka padanya dan selalu ingin dekat dan ingin melihatnya serta ingin berinteraksi dengannya. Orang yang memiliki daya tarik dan menyenangkan ibarat memiliki kekayaan yang tak ternilai harganya.

Berbeda dengan kecantikan dan kepintaran yang pada hakekatnya merupakan sesuatu yang diberikan oleh Tuhan (given), menarik dan menyenangkan merupakan sesuatu yang dapat dipelajari dan distimulasikan dalam setiap aktifitas kehidupan kita sehari-hari (daily activity).

Untuk itu ada beberapa Kiat yang perlu diikuti dan dilakukan bila Kita ingin memiliki Kepribadian Yang Menarik dan Menyenangkan.

KIAT-KIATnya adalah sebagai berikut :

1. SOPAN SANTUN (POLITENESS)

Selalu sopan dan baik terhadap orang lain menyebabkan kita menjadi menarik dan menyenangkan bagi orang lain tersebut. Bila bertemu dengan siapapun kita hendaknya “hangat” dan ramah kepadanya. Tegur sapa yang manis dan hangat, seperti : Halo…apa khabar, Selamat Pagi…, Selamat Siang…, dsb harus selalu kita ucapkan lengkap dengan ekspresi wajah dan bahasa tubuh yang tulus yang mencerminkan dan mewakili itu semua. Pada orang yang baru pertama kali kita kenal sebaiknya kita ucapkan : “Saya senang sekali bertemu dengan Anda…, Kapan-kapan kita bincang-bincang lagi…, dsb, dsb.

Orang-orang yang ingin tampil menarik, menyenangkan dan diperhatikan orang adalah orang-orang tidak akan pernah menyakitkan dan melukai hati dan perasaan orang lain. Bila hati orang sudah terluka maka akan sulit sekali untuk dapat sembuh dalam waktu yang singkat malah mungkin sekali sakit hatinya berubah menjadi api dendam yang membara yang sewaktu-waktu dapat meledak bagaikan bom neutron yang dahsyat.

2. KERAMAH-TAMAHAN (HOSPITALITY)

Prinsip “SENTUHLAH HATINYA”, haruslah DIPEGANG dan DIFAHAMI BETUL guna menimbulkan KESAN MENARIK dan MENYENANGKAN pada diri kita.

BEBERAPA HAL yang PERLU DIPRAKTEKKAN sehubungan dengan Sopan Santun dan Keramah-tamahan :

@ Sambutlah Tegur Sapa Orang-orang : “Tiada hal yang senyaman kata-kata sambutan yang diberikan oleh orang lain dengan nada yang tulus dan riang”.

@ Senyumlah Kepada Orang-orang : “Ada 72 otot yang diperlukan untuk mengerutkan dahi, namun hanya dibutuhkan 14 buah otot untuk tersenyum”.

@ Panggillah Orang dengan Menyebut Namanya : “Musik yang paling merdu dan syahdu di telinga siapapun adalah bunyi namanya sendiri…”.

@ Bersikaplah Bersahabat : “Bila anda ingin bersahabat, bersikaplah bersahabat…”


THE VALUES OF SMILE :

@ It costs nothing but create much.
@ It enriches those who receive without impoverishing those who give.
@ It happens in a flash but the memory of it sometimes lasts forever.
@ None are so rich that they can along without it, and none are so poor but are richer for a smile.
@ It create happiness at home, foster goodwill in a business and is the countersign of friends.
@ Yet it can not be bought, begged, borrowed or stolen, for it is something that is no earthly good to anybody till it is given away.
@ And if it ever happens that some people should be too tired to give you a smile, why not leave one of yours ?
@ For nobody needs a smile so much as those who have none left to give.

3. RASA HORMAT (RESPECTFUlL)

Kalau kita memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakuakn mungkin akan menimbulkan Ketegangan, sebab orang lain mungkin tidak menyukai cara-cara kita tersebut. Sebaliknya, kalau kita memperlakukan orang lain dengan cara sebagaimana mereka ingin diperlakukan maka hakekatnya kita telah menangkap inti dari fleksibiltas diri kita yang sebenarnya.

Menghormati orang lain, berarti belajar memperlakukan orang lain secara berbeda menurut kadar kebutuhan dan kepercayaan mereka bukannya menurut kadar kebutuhan dan kepercayaan diri kita sendiri. Hal ini bisa mengarah kepada pengertian Moral dan penerimaan diantara individu-individu dan kelompok-kelompok. Hal ini juga menunjukkan INTEGRITAS PRIBADI seseorang.

Rasa hormat kepada orang lain, mungkin lebih mudah dipahami sebagai: “usaha mencari kepentingan umum yang dibagi bersama dan kemudian dikerjakan bersama-sama untuk mencapai hasil yang menang-menang (win-win)”.

4. PENUH PERHATIAN (ATTENTIVE)

Sikap penuh perhatian berarti menyadari “apa saja yang sedang berlangsung di lingkungan kita”. Sikap penuh perhatian berhubungan dengan kemampuan membaca situasi yang tersirat (implicit). Ini bisa dimulai dari sesederhana memperhatikan ketika seseorang merasa bosan dan merasakan bahwa sekarang bukan saatnya untuk menyampaikan gagasan-gagasan kita.

Bersikap penuh perhatian berarti mengosongkan diri dari pemikiran-pemikiran diri kita sendiri secara subyektif (mampu melihat dari kaca mata orang lain) dan membuka wawasan dan pikiran untuk mau melihat segala hal di luar diri kita.

Orang yang penuh perhatian juga tahu kapan ia harus bertindak dan kapan ia tidak boleh bertindak. Orang yang tergolong penuh perhatian akan bermain dalam hal : kecenderungan, pola-pola, variasi dan kesempatan. Orang yang penuh perhatian akan memiliki sikap terbuka baik terhadap informasi yang masuk, gagasan ataupun saran-saran dari orang lain.

This article was written by SHOBRIE HARDHI aimed for “Personality Development”.
The Writer is Ex-Human Resource Manager of Indomobil Group

ADA ILMUNYA UNTUK MENJADI KAYA

THERE IS A SCIENCE OF GETTING RICH

There is a Science of getting rich, and it is an exact science, like algebra or arithmetic. There are certain laws which govern the process of acquiring riches; once these laws are learned and obeyed by any man, he will get rich with mathematical certainty.

Ada ilmu tentang bagaimana menjadi kaya, dan itu adalah ilmu pasti seperti ilmu Aljabar atau Aritmatika. Ada “aturan” tertentu yang mengatur proses pengumpulan kekayaan. Sekali “aturan-aturan” tersebut dipelajari dan dipatuhi oleh siapa saja maka ia akan memperoleh kekayaan dengan sebuah kepastian seperti matematika layaknya.

The ownership of money and property comes as a result of doing things in a certain way; those who do things in this Certain Way, whether on purpose or accidentally, get rich; while those who do not do things in this Certain Way, no matter how hard they work or how able they are, remain poor.

Kepemilikan atas uang dan harta adalah hasil dari “melakukan sesuatu dengan cara tertentu”. Bagi orang-orang yang melakukan sesuatu dengan cara tertentu tersebut, baik dengan tujuan utama menjadi kaya ataupun tidak – maka ia akan kaya. Sementara bagi orang-orang yang tidak melakukannya dengan cara tertentu, tak peduli betapa kerasnya ia bekerja ataupun betapa mampunya ia dalam bekerja – ia tidak akan kaya, alias masih miskin.

It is a natural law that like causes always produce like effects; and, therefore, any man or woman who learns to do things in this certain way will infallibly get rich.

Itu adalah hukum alam, bagaikan “sebab” yang menghasilkan “akibat”. Oleh karena itu setiap orang pria ataupun wanita yang mempelajari untuk “melakukan sesuatu dengan cara tertentu” tersebut maka tidak salah lagi akan menjadi kaya.

That the above statement is true is shown by the following facts:

Getting rich is not a matter of environment, for, if it were, all the people in certain neighborhoods would become wealthy; the people of one city would all be rich, while those of other towns would all be poor; or the inhabitants of one state would roll in wealth, while those of an adjoining state would be in poverty.

Pernyataan di atas adalah benar adanya dan dapat dijelaskan dengan fakta-fakta sebagai berikut :

“Menjadi kaya adalah bukan soal lingkungan, kalau demikian halnya maka orang-orang tertentu yang tinggal di satu kota semuanya dapat menjadi kaya, sementara orang-orang yang tinggal di kota lain dapat menjadi miskin semuanya. Atau seluruh penduduk di satu Negara mendapatkan kemakmuran sementara semua penduduk di Negara lain mendapatkan kemiskinan”.

But everywhere we see rich and poor living side by side, in the same environment, and often engaged in the same vocations. When two men are in the same locality, and in the same business, and one gets rich while the other remains poor, it shows that getting rich is not, primarily, a matter of environment. Some environments may be more favorable than others, but when two men in the same business are in the same neighborhood, and one gets rich while the other fails, it indicates that getting rich is the result of doing things in a Certain Way.

Namun dimana-mana dapat kita lihat bahwa banyak orang kaya dan orang miskin hidup berdampingan dalam satu lingkungan yang sama. Bahkan sering terjadi di bidang pekerjaan yang sama pula. Kalau 2 orang berada di satu lokasi yang sama, di bidang usaha yang sama, tetapi yang satu kaya dan yang satunya lagi masih miskin berarti itu menunjukkan bahwa menjadi kaya bukanlah soal lingkungan. Beberapa lingkungan bisa jadi sangat diinginkan daripada hal-hal lain. Tetapi bila 2 orang yang berada di bidang usaha yang sama dan berada di lingkungan yang sama pula serta yang satu memperoleh kekayaan tetapi yang satunya lagi masih gagal memperoleh kekayaan, hal itu berarti menunjukkan bahwa “Menjadi Kaya” merupakan “Hasil dari berbuat sesuatu dengan cara yang tertentu”.

And further, the ability to do things in this certain way is not due solely to the possession of talent, for many people who have great talent remain poor, while other who have very little talent get rich.

Selanjutnya, kemampuan untuk melakukan sesuatu dengan cara tertentu ini “bukan semata-mata” disebabkan oleh karena adanya bakat yang dimiliki, banyak sekali orang yang mempunyai bakat hebat tetapi masih saja miskin, sebaliknya ada orang-orang yang hanya memiliki sedikit bakat tetapi kaya.

Studying the people who have got rich, we find that they are an average lot in all respects, having no greater talents and abilities than other men. It is evident that they do not get rich because they possess talents and abilities that other men have not, but because they happen to do things in a Certain Way.

Mempelajari orang-orang yang memiliki kekayaan, kami menemukan bahwa mereka rata-rata adalah orang biasa-biasa saja yang tidak memiliki bakat dan kemampuan yang lebih hebat dibandingkan dengan orang lain. Ini menunjukkan bahwa mereka memperoleh kekayaan bukan karena mereka memiliki bakat dan kemampuan yang tidak dimiliki oleh orang lain, tetapi dikarenakan mereka “Melakukan Sesuatu dengan Cara Tertentu”.

Getting rich is not the result of saving, or "thrift"; many very penurious people are poor, while free spenders often get rich. Nor is getting rich due to doing things which others fail to do; for two men in the same business often do almost exactly the same things, and one gets rich while the other remains poor or becomes bankrupt.

Menjadi kaya bukanlah disebabkan karena hasil dari “menabung” atau “pelit”. Banyak orang yang kikir juga miskin, tetapi orang yang “budiman” malah kaya. Menjadi kaya juga bukanlah dikarenakan ia telah melakukan sesuatu yang orang lain gagal melakukannya. Dua orang dalam bidang usaha yang sama seringkali melakukan sesuatu yang hampir sama persis, tetapi yang satu memperoleh kekayaan sedangkan yang lainnya masih saja miskin atau bahkan menjadi bangkrut.

From all these things, we must come to the conclusion that getting rich is the result of doing things in a Certain Way.

Dari beberapa hal tersebut di atas, Kita harus menyimpulkan bahwa “Menjadi Kaya” adalah “Hasil dari melakukan sesuatu dengan Cara Tertentu”.

If getting rich is the result of doing things in a Certain Way, and if like causes always produce like effects, then any man or woman who can do things in that way can become rich, and the whole matter is brought within the domain of exact science.

Bila “Menjadi Kaya” adalah merupakan “Hasil dari Melakukan sesuatu dengan Cara Tertentu” seperti suatu “Sebab” yang menghasilkan “Akibat”, lalu kemudian orang-orang yang melakukan seperti itu dapat “Menjadi Kaya” maka selanjutnya kita dibawa kepada Lingkup Kewenangan “Ilmu Pasti”.

The question arises here, whether this Certain Way may not be so difficult that only a few may follow it. This cannot be true, as we have seen, so far as natural ability is concerned. Talented people get rich, and blockheads get rich; intellectually brilliant people get rich, and very stupid people get rich; physically strong people get rich, and weak and sickly people get rich.

Sampai di sini timbul pertanyaan, apakah “Cara Tertentu” ini tidak terlalu sulit untuk diikuti sehingga hanya sedikit orang saja yang dapat berhasil mengikutinya. Jawabannya adalah “tidak benar”, karena sebagaimana telah kita saksikan sejauh ini bahwa “kemampuan alami” terkait dengan hal ini. Kita lihat, orang-orang berbakat jadi kaya, orang-orang bodoh bisa kaya, orang-orang yang sangat pintar juga kaya, orang-orang yang kuat secara fisik juga kaya, serta orang-orang lemah dan penyakitan juga bisa kaya.

Some degree of ability to think and understand is, of course, essential; but in so far natural ability is concerned, any man or woman who has sense enough to read and understand these words can certainly get rich.

Tingkat kemampuan untuk memikirkan dan memahami tentu merupakan hal yang sangat mendasar dan penting, namun sejauh ini “kemampuan alami” sangat terkait dengan hal ini. Setiap orang, baik pria maupun wanita yang mempunyai cukup kepekaan untuk membaca dan mengerti kata-kata tersebut tentu saja dapat menjadi kaya.

Also, we have seen that it is not a matter of environment. Location counts for something; one would not go to the heart of the Sahara and expect to do successful business.

Kita telah saksikan juga bahwa hal itu bukanlah sekedar masalah lingkungan. Lokasi sangat memperhitungkan sesuatu hal. Orang tak akan pergi ke tengah-tengah gurun Sahara dan mengharapkan usaha yang sukses di sana.

Getting rich involves the necessity of dealing with men, and of being where there are people to deal with; and if these people are inclined to deal in the way you want to deal, so much the better. But that is about as far as environment goes. If anybody else in your town can get rich, so can you; and if anybody else in your state can get rich, so can you.

“Menjadi Kaya” melibatkan pentingnya berhubungan dengan orang-orang serta lokasi/tempat dimana bisa berhubungan dengan mereka. Jika orang-orang ini cenderung mau berhubungan dengan cara yang anda lakukan maka akan sangat menguntungkan sekali. Jika orang lain di kota anda dapat menjadi kaya maka anda juga bias. Jika orang-orang di Negara anda bisa menjadi kaya maka anda juga bisa.

Again, it is not a matter of choosing some particular business or profession. People get rich in every business, and in every profession; while their next door neighbors in the same vocation remain in poverty.

Dipertegas lagi, Bukanlah masalah dalam memilih usaha atau profesi tertentu. Orang dapat menjadi kaya di bisnis apapun dan dalam bidang profesi apapun sementara orang-orang yang dekat lainnya masih miskin.

It is true that you will do best in a business which you like, and which is congenial to you; and if you have certain talents which are well developed, you will do best in a business which calls for the exercise of those talents.

Benar sekali bahwa anda akan berusaha keras di bidang bisnis yang anda senangi, menyenangkan serta cocok dengan diri anda. Bila anda punya bakat tertentu yang dikembangkan dengan sangat baik maka anda akan melakukan yang terbaik dalam bidang tersebut yang akan mengasah bakat anda tersebut juga.

Also, you will do best in a business which is suited to your locality; an ice-cream parlor would do better in a warm climate than in Greenland, and a salmon fishery will succeed better in the Northwest than in Florida, where there are no salmon.

Begitu juga, anda akan berbuat yang terbaik bila bisnis anda berada pada tempat/lingkungan yang cocok dengan anda. Kedai es krim akan sangat cocok berada di daerah yang beriklim hangat/tropis daripada di Greenland/kutub. Nelayan ikan salmon akan lebih sukses di barat laut daripada di Florida yang tidak ada ikan salmonnya.

But, aside from these general limitations, getting rich is not dependent upon your

engaging in some particular business, but upon your learning to do things in a Certain Way. If you are now in business, and anybody else in your locality is getting rich in the same business, while you are not getting rich, it is because you are not doing things in the same Way that the other person is doing them.

Namun disamping batasan-batasan secara umum tersebut, “Menjadi Kaya” tidaklah tergantung dari bidang bisnis apa anda berkecimpung, tetapi lebih bergantung kepada “Proses belajar anda untuk melakukan sesuatu dengan cara tertentu”. Jika sekarang anda melakukan bisnis dan orang lain di daerah anda juga melakukan bisnis yang sama dengan anda, tetapi anda “tidak menjadi kaya” sementara “mereka kaya”, hal ini disebabkan karena anda tidak melakukan bisnis tersebut dengan cara yang sama seperti cara yang mereka melakukan di bisnis tersebut.

No one is prevented from getting rich by lack of capital. True, as you get capital the increase becomes more easy and rapid; but one who has capital is already rich, and does not need to consider how to become so. No matter how poor you ay be, if you begin to do things in the Certain Way you will begin to get rich; and you will begin to have capital. The getting of capital is a part of the process of getting rich; and it is a part of the result which invariably follows the doing of things in the Certain Way.

Tak ada orang yang ter-cegah “menjadi kaya” oleh karena “kurangnya modal”. Memang betul, jika anda punya banyak modal maka akan lebih mudah dan lebih cepat berhasil, namun “ingat !” orang yang “sudah memiliki banyak modal” adalah “orang yang sudah kaya”, serta mereka yang sudah kaya tidak lagi memikirkan “bagaimana bisa menjadi kaya”. Tak peduli semiskin apa anda saat ini jika anda melakukan “sesuatu dengan cara tertentu” tersebut maka anda akan “mulai menjadi kaya” dan anda akan “mulai memperoleh modal”. Mendapatkan modal adalah bagian dari “Proses Menjadi Kaya”. Dan hal itu merupakan bagian dari “Hasil yang tidak berbeda” dalam mematuhi aturan “Sesuatu dengan Cara Tertentu” tersebut.

You may be the poorest man on the continent, and be deeply in debt; you may have neither friends, influence, nor resources; but if you begin to do things in this way, you must infallibly begin to get rich, for like causes must produce like effects. If you have no capital, you can get capital; if you are in the wrong business, you can get into the right business; if you are in the wrong location, you can go to the right location; and you can do so by beginning in your present business and in your present location to do things in the Certain Way which causes success.

Anda mungkin saja orang yang paling miskin di dunia, banyak hutang, tak punya banyak teman, tak punya pengaruh atau sumber daya apapun…tetapi bila anda mulai “melakukan sesuatu dengan cara yang tertentu” ini maka anda “tidak salah lagi” akan “Menjadi Kaya”, sebagaimana “Sebab” yang menimbulkan “Akibat”. Bila anda tak punya modal, maka anda akan mendapatkan modal. Bila anda berada dalam bisnis yang salah maka anda akan dapat berjalan ke lokasi/tempat yang benar. Anda dapat melakukan hal-hal tersebut dengan “memulai” di bisnis anda saat ini dan di lokasi/tempat anda saat ini dengan cara : “Melakukan Sesuatu dengan Cara Tertentu” yang akan menyebabkan SUKSES ANDA.

Sumber : Buku “The Science of Getting Rich”
Karya : Wallace D. Wattle