Pihak kedua yang yang harus menjadi target operasi CHR dalam menghadapi krisis adalah karyawan. Karyawan adalah aktor vital dalam manajemen krisis. Krisis tak dapat ditangkal tanpa karyawan. Tidak hanya pasukan elite yang sanggup melawan tapi seluruh karyawan. Tanpa kesatuan antara karyawan dan manajemen, maka seluruh enerji mereka akan habis untuk dialog dan ‘pertempuran’ antar mereka sendiri padahal musuh krisis di depan tak bisa menunggu lagi.
Untuk membuat karyawan terlibat aktif, CHR harus mampu menerangkan secara jujur dan terbuka seluruh kondisi perusahaan. Tanpa perlu ‘make up’ dan kata-kata penuh puisi. Yang penting isi dan substansi. Tanpa ancaman dan bekal serangkaian regulasi yang menguatkan posisi masing-masing.
Ketika semua berunding tanpa senjata, maka jalan damai akan didapatkan. Ketika senjata dengan isi penuh dipakai, maka perundingan hanya akan berakibat situasi, win-lose. Akibatnya, ada hati yang terluka.
Agar karyawan mengerti bahwa ‘we are not in normal time, we are in crisis. We can not do business as usual’, maka komunikasi harus dijalankan dengan transparan. Paradigma tentang karyawan dengan seluruh kelompoknya, termasuk serikat pekerja, harus bernuansa positif.
Sepuluh prinsip dasar ini harus diyakini :
1. Karyawan adalah ‘Human’ bukan sekedar ‘Resources’ yang mudah memahami kondisi perusahaan bila mereka ikut dilibatkan.
2. Mereka memiliki nurani yang mampu menangkap sinyal ketegangan para pemimpin mereka.
3. Mereka bukanlah manusia penuntut yang tak mau tahu kondisi perusahaan.
4. Mereka punya nalar dan akal sehat ketika diperlakukan sebagai manusia dewasa.
5. Mereka adalah ‘Resource’ yang paling feksible menyesuaikan diri terhadap krisis jauh melebihi resources lain.
6. Mereka memiliki potensi yang tak terbayangkan ketika terhimpit. Acapkali ide brilliant muncul ketika muncul bahaya ‘kepepet’.
7. Mereka adalah resources yang bisa dipercaya memberikan lebih dari apa yang diharapkan dan berkontribusi melebihi tuntutan yang ada dalam job description
8. Mereka mampu berkorban hanya karena sebuah visi dan belief yang secara nalar kadang sulit dimengerti.
9. Mereka bisa membedakan mana komunikasi yang memanipulasi dan mana yang secara jujur terbuka dilakukan.
10. Mereka punya waktu tenggang yang tak terbatas bila keterbukaan dan kesungguhan mereka rasakan
Perusahaan yang mampu mengayomi seluruh kepentingan karyawan dengan jujur akan mendapat dukungan secara serentak, tanpa dikomandoi, bahkan dalam berbagai hal termasuk melibatkan seluruh keluarga mereka.
Sebaliknya karyawan bisa berubah menjadi resources yang sangat kejam dan bengis ketika melihat eksekutifnya tidak mengenal krisis atau bahkan menggunakan krisis untuk kepentingan pribadinya. Ditambah lagi ada susupan pihak luar yang ingin mengadu domba karyawan dan manajemen yang seharusnya satu perahu. Pihak luar tidak senang kalau ada persatuan. Persatuan membuat mereka tak mampu bergerak. Persatuan membuat intruder mati kutu. Ini yang harus dijaga oleh kedua belah pihak.
Tapi kalau salah satu pihak sudah menunjukkan gejala yang tak tanggap krisis, baik karyawan maupun eksekutif, maka hasilnya bisa ruyam. Karyawan tak mau tahu yang penting gaji, tunjangan dan seluruh fasilitas ‘as usual’ dan eksekutif masih berlaku seperti ‘as usual’, maka akan terjadi kesalahpahaman. Perundingan untuk menyelematan perusahaan menjadi perundingan untuk menyelamatkan diri masing-masing. Kalau sudah begini, kebangkrutan adalah opsi yang secara tak sadar mereka pilih sendiri. Kapal yang seharusnya selamat, harus karam hanya karena keduanya ingin memetik keuntungan bagi pihak masing-masing.Misalnya berita dibawah ini yang saya kutip dari Kompas, minggu 23 November 2008 dengan judul yang agak provokatif “ GM “berniat” Bangkrut. Menunjukkan ketidak pekaan eksekutif terhadap krisis walaupun dalam bantahannya mereka mengatakan mereka sudah berminat menjual jet pribadi sebelum bertemu Konggres. Masalahnya adalah mereka tetap menggunakan jet hanya dengan berbagai alasan yang dalam kondisi biasa adalah hal yang lumrah.
“Pihak Kongres mengecam parta pemimpin industri otomotof AS yang datang dengan jet mewah ke Washington DC guna memohon dana talangan. CEO GM Rick Wagoner dikecam keras karena ingin mendapatkan uang rakyat, tetapi tak mengorbankan kenikmatan pribadinya untuk semua itu. Kecaman juga diarahkan kepada pimpinan Ford, Alan Mulally, dan Robert Nardelli dari Chrysler LLC, yang juga datang ke Konggres menggunakan jet pribadi. Mereka dinilai tidak memiliki kepekaan krisis saat hendak meminta dana talangan yang sebenarnya merupaka uang rakyat”.
CHR haruslah menjadi ‘devil advocate’ bagi pihak yang kurang peka akan krisis. Menjadi tugas yang amat berat, ketika CHR harus berada di tengah, diantara kerumunan serigala dan tukang jagal. Tapi menjadi tugas yang ringan, ketika CHR berada di kawanan domba dan Gembala. Nah, ini tantangannya, bagaimana membuat karyawan tetap sebagai domba di krisis yang sulit ini dan tetap membuat eksekutif sebagai Gembala yang baik.
Simak dalam Reflection Dinner ...... sub judul ... berada ditengah domba dan gembala atau serigala dan tukang jagal ......
Oleh : Paulus Bambang W.S.
Vice President Director PT United Tractors Tbk.Pengarang Buku (Best Seller): “Built to Bless. The 10 Commandments to transform your Visionary Company – Built to last – to a Spiritual Legacy”
Untuk membuat karyawan terlibat aktif, CHR harus mampu menerangkan secara jujur dan terbuka seluruh kondisi perusahaan. Tanpa perlu ‘make up’ dan kata-kata penuh puisi. Yang penting isi dan substansi. Tanpa ancaman dan bekal serangkaian regulasi yang menguatkan posisi masing-masing.
Ketika semua berunding tanpa senjata, maka jalan damai akan didapatkan. Ketika senjata dengan isi penuh dipakai, maka perundingan hanya akan berakibat situasi, win-lose. Akibatnya, ada hati yang terluka.
Agar karyawan mengerti bahwa ‘we are not in normal time, we are in crisis. We can not do business as usual’, maka komunikasi harus dijalankan dengan transparan. Paradigma tentang karyawan dengan seluruh kelompoknya, termasuk serikat pekerja, harus bernuansa positif.
Sepuluh prinsip dasar ini harus diyakini :
1. Karyawan adalah ‘Human’ bukan sekedar ‘Resources’ yang mudah memahami kondisi perusahaan bila mereka ikut dilibatkan.
2. Mereka memiliki nurani yang mampu menangkap sinyal ketegangan para pemimpin mereka.
3. Mereka bukanlah manusia penuntut yang tak mau tahu kondisi perusahaan.
4. Mereka punya nalar dan akal sehat ketika diperlakukan sebagai manusia dewasa.
5. Mereka adalah ‘Resource’ yang paling feksible menyesuaikan diri terhadap krisis jauh melebihi resources lain.
6. Mereka memiliki potensi yang tak terbayangkan ketika terhimpit. Acapkali ide brilliant muncul ketika muncul bahaya ‘kepepet’.
7. Mereka adalah resources yang bisa dipercaya memberikan lebih dari apa yang diharapkan dan berkontribusi melebihi tuntutan yang ada dalam job description
8. Mereka mampu berkorban hanya karena sebuah visi dan belief yang secara nalar kadang sulit dimengerti.
9. Mereka bisa membedakan mana komunikasi yang memanipulasi dan mana yang secara jujur terbuka dilakukan.
10. Mereka punya waktu tenggang yang tak terbatas bila keterbukaan dan kesungguhan mereka rasakan
Perusahaan yang mampu mengayomi seluruh kepentingan karyawan dengan jujur akan mendapat dukungan secara serentak, tanpa dikomandoi, bahkan dalam berbagai hal termasuk melibatkan seluruh keluarga mereka.
Sebaliknya karyawan bisa berubah menjadi resources yang sangat kejam dan bengis ketika melihat eksekutifnya tidak mengenal krisis atau bahkan menggunakan krisis untuk kepentingan pribadinya. Ditambah lagi ada susupan pihak luar yang ingin mengadu domba karyawan dan manajemen yang seharusnya satu perahu. Pihak luar tidak senang kalau ada persatuan. Persatuan membuat mereka tak mampu bergerak. Persatuan membuat intruder mati kutu. Ini yang harus dijaga oleh kedua belah pihak.
Tapi kalau salah satu pihak sudah menunjukkan gejala yang tak tanggap krisis, baik karyawan maupun eksekutif, maka hasilnya bisa ruyam. Karyawan tak mau tahu yang penting gaji, tunjangan dan seluruh fasilitas ‘as usual’ dan eksekutif masih berlaku seperti ‘as usual’, maka akan terjadi kesalahpahaman. Perundingan untuk menyelematan perusahaan menjadi perundingan untuk menyelamatkan diri masing-masing. Kalau sudah begini, kebangkrutan adalah opsi yang secara tak sadar mereka pilih sendiri. Kapal yang seharusnya selamat, harus karam hanya karena keduanya ingin memetik keuntungan bagi pihak masing-masing.Misalnya berita dibawah ini yang saya kutip dari Kompas, minggu 23 November 2008 dengan judul yang agak provokatif “ GM “berniat” Bangkrut. Menunjukkan ketidak pekaan eksekutif terhadap krisis walaupun dalam bantahannya mereka mengatakan mereka sudah berminat menjual jet pribadi sebelum bertemu Konggres. Masalahnya adalah mereka tetap menggunakan jet hanya dengan berbagai alasan yang dalam kondisi biasa adalah hal yang lumrah.
“Pihak Kongres mengecam parta pemimpin industri otomotof AS yang datang dengan jet mewah ke Washington DC guna memohon dana talangan. CEO GM Rick Wagoner dikecam keras karena ingin mendapatkan uang rakyat, tetapi tak mengorbankan kenikmatan pribadinya untuk semua itu. Kecaman juga diarahkan kepada pimpinan Ford, Alan Mulally, dan Robert Nardelli dari Chrysler LLC, yang juga datang ke Konggres menggunakan jet pribadi. Mereka dinilai tidak memiliki kepekaan krisis saat hendak meminta dana talangan yang sebenarnya merupaka uang rakyat”.
CHR haruslah menjadi ‘devil advocate’ bagi pihak yang kurang peka akan krisis. Menjadi tugas yang amat berat, ketika CHR harus berada di tengah, diantara kerumunan serigala dan tukang jagal. Tapi menjadi tugas yang ringan, ketika CHR berada di kawanan domba dan Gembala. Nah, ini tantangannya, bagaimana membuat karyawan tetap sebagai domba di krisis yang sulit ini dan tetap membuat eksekutif sebagai Gembala yang baik.
Simak dalam Reflection Dinner ...... sub judul ... berada ditengah domba dan gembala atau serigala dan tukang jagal ......
Oleh : Paulus Bambang W.S.
Vice President Director PT United Tractors Tbk.Pengarang Buku (Best Seller): “Built to Bless. The 10 Commandments to transform your Visionary Company – Built to last – to a Spiritual Legacy”