Dalam dunia pelatihan, praktik e-learning atau proses pembelajaran dengan sarana teknologi internet semakin hari kian diminati oleh perusahaan-perusahaan yang memiliki karyawan dalam jumlah besar. Namun, di mata para praktisi training sendiri, praktik tersebut ternyata masih dianggap tidak efektif.
Demikian kesimpulan yang bisa ditarik dari hasil survei yang dilakukan oleh Chartered Institute of Personnel and Development (CIPD) tentang pelatihan dan pengembangan. Survei melibatkan 700 orang petinggi bisnis sebagai responden.
Menurut hasil survei tersebut, hanya 7% kalangan bisnis yang menyebut e-learning sebagai satu dari tiga metode paling efektif dalam praktik pelatihan karyawan.
Responden yang semuanya telah mempraktikkan e-learning tersebut mengaku, sarana tersebut rata-rata telah tersedia bagi 60% karyawan, namun hanya separinya saja yang memanfaatkannya. Dan, dari jumlah itu, hanya 30% saja yang menyelesaikan pelatihannya.
Menariknya, meskipun menganggap tidak cukup efektif, namun 29% responden memprediksi bahwa dalam tiga tahun ke depan e-learning akan semakin populer. Setidaknya, 25-50% dari praktik training diyakini akan dilaksanakan lewat e-learning.
Adapun mengenai efektivitas tadi, 95% setuju bahwa e-learning akan lebih efektif jika dikombinasikan dengan metode-metode pembelajaran lainnya. Di samping itu, 92% setuju bahwa praktik e-learning menuntut sikap yang baru dari para karyawan.
Penasihat bidang pelatihan dan pengembangan pada CIPD Martyn Sloman mengatakan, "Kita masih butuh waktu yang panjang unuk mewujudkan e-learning secara efektif dalam organisasi. Survei kami memperlihatkan bahwa praktik ini memang belum sepenuhnya diapresiasi baik oleh karyawan maupun manajer pelatihan."
"Kita harus berusaha lebih keras untuk mengintegrasikan e-learning ke dalam sarana pembelajaran dan aktivitas-aktivitas pendukung kinerja. Organisasi-organisasi yang bagus tengah melakukan itu tapi banyak yang hanya membuat e-learning sekedar tersedia di komputer tiap karyawannya," tambah dia.
Sloman mengingatkan, e-learning adalah tentang proses belajar dan bukan semata-mata teknologi. Sehingga perusahaan tidak bisa hanya sekedar menyediakan fasilitasnya lalu berharap sesuatu akan terjadi dengan sendirinya, sebagai hasilnya.
Demikian kesimpulan yang bisa ditarik dari hasil survei yang dilakukan oleh Chartered Institute of Personnel and Development (CIPD) tentang pelatihan dan pengembangan. Survei melibatkan 700 orang petinggi bisnis sebagai responden.
Menurut hasil survei tersebut, hanya 7% kalangan bisnis yang menyebut e-learning sebagai satu dari tiga metode paling efektif dalam praktik pelatihan karyawan.
Responden yang semuanya telah mempraktikkan e-learning tersebut mengaku, sarana tersebut rata-rata telah tersedia bagi 60% karyawan, namun hanya separinya saja yang memanfaatkannya. Dan, dari jumlah itu, hanya 30% saja yang menyelesaikan pelatihannya.
Menariknya, meskipun menganggap tidak cukup efektif, namun 29% responden memprediksi bahwa dalam tiga tahun ke depan e-learning akan semakin populer. Setidaknya, 25-50% dari praktik training diyakini akan dilaksanakan lewat e-learning.
Adapun mengenai efektivitas tadi, 95% setuju bahwa e-learning akan lebih efektif jika dikombinasikan dengan metode-metode pembelajaran lainnya. Di samping itu, 92% setuju bahwa praktik e-learning menuntut sikap yang baru dari para karyawan.
Penasihat bidang pelatihan dan pengembangan pada CIPD Martyn Sloman mengatakan, "Kita masih butuh waktu yang panjang unuk mewujudkan e-learning secara efektif dalam organisasi. Survei kami memperlihatkan bahwa praktik ini memang belum sepenuhnya diapresiasi baik oleh karyawan maupun manajer pelatihan."
"Kita harus berusaha lebih keras untuk mengintegrasikan e-learning ke dalam sarana pembelajaran dan aktivitas-aktivitas pendukung kinerja. Organisasi-organisasi yang bagus tengah melakukan itu tapi banyak yang hanya membuat e-learning sekedar tersedia di komputer tiap karyawannya," tambah dia.
Sloman mengingatkan, e-learning adalah tentang proses belajar dan bukan semata-mata teknologi. Sehingga perusahaan tidak bisa hanya sekedar menyediakan fasilitasnya lalu berharap sesuatu akan terjadi dengan sendirinya, sebagai hasilnya.